Perjuangan Bani Abbasiyah dan Runtuhnya Bani Umaiyah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Maju mundurnya
peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat islam itu sendiri.
Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu
dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan islam diantaranya Umayah dan
Abbasiyah, Umayah dan Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, di antaranya
memunculkan ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
Jatuhnya
Daulat Bani Umayyah pada tahun 750 M dan bangkitnya Daulat Bani Abbasiyyah
telah menarik perhatiaan banyak sejarahwan islam klasik. Para sejarawan melihat
bahwa kejadian itu unik dan menarik, karena bukan saja merupakan pergantiana
dinasti tetapi lebih dari itu adalah pergantiaan struktur sosial dan idiologi.
Maka, banyak sejarahwan yang menilai bahwa kebangkitan daulat Bani Abbasiyyah
merupakan suatu revolusi dalam arti kata yang sebenarnya.
Masa
kekhalifahan bani abasiyah merupakan masa kejayaan umat islam sepanjang
sejarah. Pada masa itu titik berat pemerintahan bukan lagi pada perluasan
wilayah yang banyak melibatkan kekuasaan militer, akan tetapi pada peradapan
dan kebudayaan. Dengan demikian, pada masa itu banyak muncul hasil karya yang
menjadi pelopor dalam dunia pengetahuan modern.
B.
Batasan Masalah
Mengingat
luasnya materi yang berkenaan dengan Bani Abbaiyah, maka pada makalah ini kami
hanya membahas sekitar:
1.
Perjuangan Bani Abbasiyah.
2.
Runtuhnya Bani Umaiyah
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
dari penulisan ini adalah untuk mengetahui secara lebih rinci bagaimana perjuangan
Islam pada pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah dan faktor-faktor penyebab
runtuhnya Bani Umaiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bani Abbasiyah
a. Asal-usul Dinasti Bani Abbasiyah
Dengan
tumbangnya daulah Bani Umayyah maka keberadaan Daulah Bani Abbasiyah
mendapatkan tempat penerangan dalam masa kekhalifahan Islam saat itu, dinamakan
daulat bani Abbasiah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abdullah
Al-Safah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas. Dia dilahirkan di
Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul
awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258
M.[1]
Sejarah
peralihan kekuasaan dari Daulat Bani Umayyah kepada Daulat Bani Abbas bermula
ketika Bani Hasyim menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka, karena
mereka adalah keluarga nabi yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya telah ada
ketika wafatnya Rosullalalh. Tetapi tuntutan itu baru mengkristal (mengeras)
ketika Bani Umayyah naik tahta dengan mngalahkan Ali bin Abi Thalib. Bani
Hasyim yang menuntut kepemimpinan Islam itu paling tidak dapat digolongkan
menjadi dua golongan besar.
Pertama golongan ‘Alawi, keturunan Ali
bin abi Thalib. Mereka ini dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: pertama
keturunan dari Fatimah, dan yang kedua keturunan dariMuhammad bin Al-Hanafiyah.
kedua adalah golongan Abbasiyah (Bani
Abbasiyah), keturunan Al-Abbas paman Nabi tersebut. Perbedaan dari kedua
golongan tersebut, paling tidak golongan Abbasiyah lebih mementingkan kemampuan
politik yang lebih besar daripada golongan ‘Alawi.
Pada abad
ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat
dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan
Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang
akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria,
berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah
kekuasaan Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah
Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah
penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan
Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Menurut Crane Brinton
dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1. Bahwa pada masa sebelum revolusi
ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan
kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari
ideologi yang berkuasa itu.
2. Mekanisme pemerintahannya tidak
efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan
perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
3. Terjadinya penyeberangan kaum
intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang
ditawarkan oleh para kritikus.
4. Revolusi itu pada umumnya bukan
hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan,
melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal- hal tertentu yang
merasa tidak puas dengan sistem yang ada .[2]
b. Tokoh-tokoh pendiri Bani
Abbasiyah
Beberapa tokoh
yang berperan penting dalam proses berdirinya Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut.[3]
1.
Muhammad bin Ali
Muhammad bin
Ali merupakan peletak dasar-dasar pendirian kekhalifahan Bani Abbasiyah. Ia
memulai gerakan yang disebut dakwah , yaitu gerakan propaganda kepada
umat Islam bahwa yang lebih berhak memegang jabatan kekhalifahan adalah
kelompok Bani Abbasiyah. Gerakan ini berhasil menjaring pengikut-pengikut yang
setia, terutama di wilayah khurasan.
2. Abu Abbas as-Saffah bin
Muhammad
Ia meneruskan
usaha ayahnya dalam gerakan dakwah. Setelah gerakan berhasil menumbang
Khalifah Marwan (khalifah terakhir Bani Umayyah), ia dikukuhkan menjadi
khalifah dan dianggap sebagai pendiri kekhalifahan Bani Abbasiyah. Akan tetapi,
ia hanya memerintah dalam waktu yang relative pendek, yaitu empat tahun
(750-754M).
3.
Abu Muslim al-Khurasani
Ia merupakan
tokoh kunci dalam gerakan dakwah Bani Abbasiyah. Kelihaiannya dalam
berpropaganda berhasil menarik banyak pengikut di daerah asalnya,Khurasan.
Setelah kelompok Bani Abbaiyah cukup kuat, mereka mulai menyerang kekuatan Bani
Umayyah di daerah tersebut dengan Abu Muslim al-khurasani sebagai panglimanya.
Hal itu berakhir dengan tumbangnya Khalifah Marwan dari Bani Umayyah.
c. Sistem Pergantian Kholifah
Sistem pemerintahan yang
diterapkan bani Abbasiyah masih sama dengan pendahulunya, bani Umayyah dengan
sistem kekuasaan absolutisme. Mereka mengangkat dan mengumumkan seorang atau
dua orang putra mahkota atau saudaranya sendiri untuk terus mempertahankan kepemerintahan.
Kebijakan menerapakan sistem seperti ini tentu saja menimbulkan kecemburuan dan
kebencian diantara sesama keluarga. Sebagai contoh, tatkala al-Manshur naik
tahta, dia mengumumkan Mahdi sebagai putra mahkota pertama dan menunjuk Isa ibn
Musa, kemenakannya sebagai putra mahkota kedua. Saat itu juga al-Manshur
mengasingkan Isa sama sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah pertama
al-Shaffah.
Seluruh anggota keluarga Abbas
dan pemimpin umat Islam mengangkat Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali
ibn Abdullah ibn al-Abbas sebagai khalifah mereka yang pertama walaupun masih
ada Abu Ja’far (al-Manshur) yang nantinya akan menjadi khalifah yang kedua.
Kekhalifahan bani Abbasiyah
berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang dan pada periode pertama
(750 – 848 M) tercatat kurang lebih 10 khalifah yang memimpin dengan silsilah
keturunan sebagai berikut :
NO
|
NAMA
|
MASA BERKUASA
|
1
|
Saffah ibn Muhammad
|
(132 H/750 M)
|
2
|
Abu Ja’far al-Manshur ibn Muhammad
|
(136 H/754 M)
|
3
|
Mahdi ibn al-Manshur
|
(158 H/775 M)
|
4
|
Hadi ibn Mahdi
|
(169 H/785M)
|
5
|
Harun al-Rasyid ibn Mahdi
|
(170 H/786M)
|
6
|
Amin ibn Harun
|
(193 H/804 M)
|
7
|
Ma’mun ibn Harun
|
(198 H/813 M)
|
8
|
Mu’tashim ibn Harun
|
(218 H/833 M)
|
9
|
Watsiq ibn Mu’tashim
|
(227 H/842 M)
|
10
|
Mutawakkil ibn Mu’tashim
|
(232 H/848 M)
|
Adapun
beberapa khalifah Bani Abbasiyah yang menonjol adalah sebagai berikut.
1.
Abu Ja’far al-Mansur
Abu Ja’far
al-Mansur memerintah tahun 754-775 M. ia adalah khalifah yang memindahkan pusat
pemerintahan dari al-Hasyimiyah, sebuah kota di dekat Kufah ke Bagdad, bekas
ibu kota Persia pada tahun 762 M.
Kalau
dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan oleh Shaffah dan
al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada beberapa khalifah
sesudahnya. Popularitas daulah Abbasiyah mencapai klimaks kesuksesan adalah
pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid dan puteranya al-Ma’mun
Hal ini yang
menjadi awal masuk masuknya pengaruh pengaruh Persia dalam pemerintahan Bani
Abbasiyah. Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur juga membentuk beberapa
Lembaga, seperti Lembaga Protokol Negara, Lembaga Sekretaris Negara, dan
Lembaga Kepolisian Negara. Menunjuk Muhammad bin Abdurahman sebagai Hakim
Negara. Selain itu, Jabatan Pos yang sebelumnya hanya bertugas mengantar surat,
fungsinya ditambah untuk menghimpun informasi dari daerah sehingga menghimpun
informasi dari daerah sehingga memperlancar administrasi pemerintahan.
Di antara langkah-langkah yang
diambil al-Manshur dalam menertibkan pemerintahannya antara lain :
1.
Mengangkat pejabat di
lembaga ekskutif dan yudikatif.
2.
Mengangkat wazir (menteri)
sebagai koordinator departemen. Dan wazir pertama yang diangkatnya adalah
Khalid ibn Barmak berasal dari kota Balkh Persia
3.
Mengangkat sekretaris
negara dan kepolisian negara dan membenahi angkatan bersenjata
4.
Memaksimalkan peranan
kantor pos. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur
setempat kepada khalifah.
Dalam bidang
militer, Khalifah Abu Ja’far al-Mansur berusaha memperluas wilayah
kekuasaannya. Usaha-usaha itu adalah sebagai berikut:
1. Menaklukan Kota Malatia,
Coppadocia, dan Sisilia antara tahun 756-758 M.
2. Berdamai dengan Khaisar
Constantine V dari Byzantium, dengan kesediaan Kaisar Constantine V untuk
membayar upeti antara tahun 758-765 M.
3. Melawan Turki Khazar di
Kaukasus.
4. Melawan suku Daylami di Laut
Kaspia.
5. Melawan Turki di India.[4]
2.
Harun ar-Rasyid
Harun
ar-Rasyid memerintah dari tahun 786-806 M. masa pemerintahan Harun ar-Rasyid
merupakan puncak kejayaan bani Abbasiyah. Pada masa itu banyak didirikan
fasilitas-fasilitas sosial, seperti rumah sakit, rumah farmasi, serta
pemandian-pemandian umum. Jumlah dokter pada waktu itu mencapai 800 orang.
Selain itu Harun ar-Rasyid juga memajukan sector pertanian dengan membangun
saluran irigasi. Oleh karena itu masyarakatnya memiliki tingkat kemakmuran,
kesejahteraan sosial, kesehatan, dan pendidikan yang tinggi.
Negara Islam
menjadi Negara yang kuat dan tak tak tertandingi. Harun ar-Rasyid adalah
seorang raja besar Islam di zaman itu dan hanya Karel Agung (742-814 M) di
Eropa yang dapat menjadi bandingannya. Jasa dibidang ilmu pengetahuan dan
pemikiran masih dapat dinikmati hingga sekarang.
3.
Ma’mun ibn Harun
Al-Ma’mun
memerintah selama 20 tahun dari tahun 813-833 M. ia adalah seorang Khalifah
yang sangat cinta ilmu. Ia menggalakan penerjemahan buku-buku asing, terutama
dari Yunani. Untuk melakukan hal itu, ia menggaji penerjemah-penerjemah
professional dari berbagai agama.
Khalifah
al-Ma’mun juga membangun Bait al-Hikmah yang menjadi pusat penerjemahan
dan perpustakaan. Dengan demikian, Bagdad berkembang menjadi pusat kebudayaan
dan ilmu pengetahuan.
4.
Al-Mu’tashim
Al-Mu’tashim
adalah khalifah berikutnya (833-842 M),memberi peluang besar kepada orang-orang
Turki untuk masuk dalam pemerintahan,,keterlibatan mereka dimulai sebagai
tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah
mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Tentara dibina secara khusu menjadi
prajurit-prajurit professional. Dengan demikian,kekuatan militer dinasti Bani
Abbas menjadi sangat kuat.[5]
d. Sistem Pemerintahan, Politik dan
Bentuk Negara Masa Bani Abbasiyah
1. Sistem Pemerintahan
Pada zaman
Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut
pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan
(Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana
diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal
ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur :“Innamaa Anaa
Sulthaanullah fii Ardlihii” (Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya). Pada
zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik
yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
1. Para Khalifah tetap dari
keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai
lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
2. Kota Baghdad digunakan sebagai
ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan
kebudayaan.
3. Ilmu pengetahuan dipandang
sebagai suatu yang sangat penting dan mulia .
4. Kebebasan berfikir sebagai HAM
diakui sepenuhnya .
5. Para menteri turunan Persia
diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy,
1993:213-214).
Selanjutnya
periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan,
terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian
(kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat , kecuali
pengakuan politik saja . Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan
mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja
munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau
Spanyol, Daulah Fatimiyah
2. Perkembangan Pemerintahan dan
Politik Bani Abbasiyah
Selama dinasti
ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan itu berbeda–beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarakan perubahan pola pemerintahan
dan politik, para sejarawan biasa membagi masa pemerintahan bani Abbasiyah ke
dalam lima periode, yaitu:[6]
1.
Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh
Persia pertama.
2.
Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki
pertama.
3.
Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M –
590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah
kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194 M –
656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi
kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi
dari bangsa Mongol.
Untuk
mempertahankan diri dari berbagai kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya
pemberontakan, maka para Khalifah dinasti Abbasiyah mengambil
beberapa kebijaksanaan politik dalam negerinya, yaitu:
1. Kebijaksanaan politik terhadap Bani
Umayyah
Untuk menjaga
agar tidak terjadi pemberontakan dari kalangan Bani Umayyah yang bermaksud
mengambil kembali kekuasaan dari pemerintahan dinasti Abbasiyah, maka para
khalifah Abbasiyah mengambil suatu tindakan terhadap para pendukung dan keluarga
Bani Umayyah yang masih tersisa. Kebijaksanaan itu menyebabkan banyak diantara
penduduk dan keluarga Bani Umayyah melarikan diri ke wilayah Andalusia, Afrika,
dll. Di tempat pelarian itu mereka mendirikan pemerintahan baru sebagai
tandingan kekuasaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
2. Kebijaksanaan politik terhadap
orang – orang Persia
Dalam rangka
mempertahankan kekuatan politik pemerintahan dinasti dan pendukung Bani
Umayyah, kelompok “Mawaly” (terutama orang – orang Persia) diberikan kesempatan
diberbagai bidang pemerintahan. Kedudukan kaum Malawy ini mendapatkan posisi
yang sangat istimewa dalam pemerintahan Bani Abbasiyah.
3. Kebijaksanaan politik
pemerintahan
Perkembangan
politik pemerintahan pada masa Dinasti Abbasiyah adalah kemajuan yang dicapai
melalui pembentukan beberapa lembaga pemerintahan yang baru, antara lain:[7]
A. Pengangkatan wazir
seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat.
Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
a. Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil
) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah.
b. Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya
berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang
saja. Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal
sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180). atau menteri sebagai pembantu
utama khalifah dalam melancarkan roda pemerintahan.
B. Pembentukan Diwanul kitabah
(semacam Sekretariat Negara) yang dipimpin oleh Raisul Kitabah (Sekretaris
Negara). Raisul Kitabah ini dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh beberapa
orang sekretaris, yaitu:
-
Katibul Rasail (untuk urusan surat menyurat)
-
Katibul Kharraj (untuk urusan pajak/keuangan)
-
Katibul Jundi (untuk urusan tentara/kemiliteran)
-
Katibul Qudha (untuk urusan kehakiman)
-
Katibul Syurthan (untuk urusan kepolisian).
C. Pembentukan beberapa departemen
sebagai pembantu wazir, antara lain ialah:
-
Diwanul Kharij (Departemen Luar Negeri)
-
Diwanul Ziman (Departemen Pengawasan Urusan Negara)
-
Diwanul Jundi (Departemen Pertahanan dan Keamanana)
-
Diwanul Akarah (Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja)
-
Diwanul Rasail ( Departemen Pos dan Telekomunikasi)
D. Pengangkatan Amir dan Syeikh
Qura
E. Pembentukan angkatan bersenjata terdiri
dari angkatan darat dan laut
F. Pembentukan baitul mal (kas
negara) yang terdiri dari:
-
Diwanul Khazanah (Perbendaharaan Negara)
-
Diwanul Azra’a ( Urusan Hasil Bumi)
-
Diwanul Khazainushilah ( Urusan Perlengkapan Tentara)
G. Pembentukan Mahkamah Agung yang
terdiri atas:
-
Al-Qadha (bertugas mengurus perkara-perkara agama, hakimnya disebut Qadhi)
-
Al-Hisbah (bertugas mengurus masalah-masalah umum baik pidana maupun
perdata, hakimnya disebut Al-Mustashib)
-
An-Nazhar fil Mazhalim (bertugas menyelesaikan perkara-perkara banding
dari tingkat Al-Qadha dan Al-Hisbah dan hakimnya disebut Shahibul Mazhalim).
Disamping
semua itu, banyak usaha perbaikan sistem pemerintahan yang dilakukan para
khalifah Abbasiyah antara lain usaha yang dilakukan khalifah Al-Mansur,
seperti pengaturan dan penerbitan pemerintahan, pembinaan keamanan dan
stabilitas dalam negeri, pembinaan politik luar negeri untuk kemajuan dan
perkembangan dinasti Abbasiyah. Selain itu pula, Harun Al-Rasyid pernah
menjalin hubungan diplomasi politik dengan Raja Poppie di Byzantium untuk
bekerjasama menghalau kekuatan politik militer tentara Umayyah di Andalusia.
B.
Kemunduran Dinasti Umayyah
Meskipun
keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik
dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya
dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan
penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam.
Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan
munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan
terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.[8]
Ketika Yazid
naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia
kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya
untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua
orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdulah ibn Zubair. Bersamaan
dengan itu, Syi'ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan
kembali.[9]
Perlawanan
orang-orang Syi'ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan
menjadi lebih keras dan tersebar luas. Yang termashur diantaranya adalah
pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak
pengikut dari kalangan kaum Mawali.. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan
gerakan oposisi lainnya, yaitu gerakan Abdullah ibn Zubair.
Kerusuhan
terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd
al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang
menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal
dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan
ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini,
mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru,
Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Malik adalah seorang khalifah yang
kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah
tidak berdaya mematahkannya.[10]
Sepeninggal
Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya
lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi.
Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang
bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah
terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana. [11]
Faktor-faktor
yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah diklasifikasi menjadi
dua bagian :
1.
Faktor internal ,yaitu berasal dari dalam istana sendiri antara lain :
a. perselisihan antara keluarga
khalifah,
Diantrara para
putra mahkota yang pertama telah memegang maka ia berusaha untuk mengasingkan keluarga
yang lain da ingin menggantikan dengan anaknya sendiri. sehingga sistim
pergantian khalifah dari garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi
Arab. Yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat
dikalangan anggota keluarga istana.[12]
b. Perilaku khalifah atau
gubernur jauh dari aturan islam
kekayaan Bani
Umayyah disalah gunakan oleh khalifah ataupun gubernur untuk hidup berfoya-foya
,bersuka ria dalam kemewahan ,terutama masa khalifah yazid II naik Tahta ia
terpikat oleh dua biduanitanya ,Sallamah dan Habadah serta suka meminum minuman
keras.[13] ditambah
lagi para wazir dan panglima bani Umayyah sudah mulai korup dan mengendalikan
Negara karena para khalifah pada saat itu sangat lemah.[14]
2.
Faktor eksternal istana ,adalah yang berasal dari luar istana
a. Perlawanan dari kaum Khawarij
sejak berdiri
dinasti Bani Umayyah para khalifahnya sering menghadapi tantangan dari golongan
khawarij. Golongan ini memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah
melakukan dosa besar perbedaan sudut pandang pro Ali dan Pro Muaiwiyah ini
menjadikan khawarij mengangkat pemeimpin dari kalngan mereka sendiri.[15]
b. Perlawanna dari kalangan Syi`ah
Pada dasarnya
kaum Syi`ah tidak perna mengakui pemerintahan Dinasti bani Umayyah dan tidak
perna memaafkan kesalahan mereka terhadap Ali dan Husain hingga semakin
aktid dan mendapat dukungan public.disisi mereka berkumpul orang-orang yang
merasa tidak puas ,baik dari sisi politik,ekonomi maupun sosial terhadap pemerintahan
Bani Umayyah.[16]
c. Perlawanan dari golongan Mawali
Asal
mula kaum Mawali yaitu budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan
kemudian istilah ini berkembang pada orang islam bukan arab.ketika bani Umayyah
berkuasa orang mawali dipandang sebagai masyarakat bawahan sehingga terbukalah
jurang dan sekat sosial yang memisahkan ,padahal orang Mawali turut berjuang
memebelah islam dari bani Umayyah, mereka adalah kaum infantri yang berjalan
kaki yang bertempur dengan kaki telanjang diatas terik panasnya padang
pasir.mereka ahkirnya bergabung dengn gerakan anti pemerintah yakni pihak Bani
Abbasiyah dan Syi`ah.[17]
d. Pertentangan etnis Arab Utara
dengan Arab Selatan.
Masa khilafah
Bani Umayyah ,pertentangan etnis antara suku arabia utara (baniQaisy) dan
arabia Selatan (bani Qalb) yang sejak zaman sebelum islam makin
meruncing.atas asumsi tersebut apabila seorang khalifah berasal atau lebih
dekat dengan Arab Selatan, Arab Utara akan iri demikian sebaliknya, perselisihan
tersebut berimplikasi pada kesulitan Bani Umayyah menggalang persatuan.
e. Perlawanan dari Bani Abbasiyah
Keturunan dari
paman Rasulullah Keluarga Abbas,mulai bergerak aktif dan menegaskan mereka
untuk menduduki pemerintahan dengan cerdik mereka bergabung dengan pendukung
Ali dan menekangkan hak keluarga Hasyim. Dengan memanfaatkan kekecewaan publik
dan menampilkan sebagai pembelah sejati agama islam, para keturunan abbas
segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah.[18]
Faktor-faktor
tersebut diatas merupakan sebab kemunduran yang memebawa kepada kehancuran
Dinasti Bani Umayyah termasuk koalisi akbar ketiga kaum syi`ah, Mawali dan
Abbasiyah, menyusun kekuatan dalam melakukan agresi gerakan revolusi
pemerintahan dengan menumbang Dinasti Bani Umayyah dan bertujuan menciptakan
pemeritahan baru.
Berahkirlah
kekusaan Dinasti Bani Umayyah dikota damaskus yang dirintis Muawiyah ibn Sufyan
kurang lebih 90 tahun lamanya dan ditutup oleh khilafah ke empat belas Marwan
ibn Muhammad.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Bani Abbasiyah didirikan oleh Abu Al-Abbas pada
tahun 750-754 M dengan Irak sebagai pusat pemerintahannya.
2. Konsep
khilafah pada Bani Abbasiyah berlanjut ke generasi sesudahnya, dan ini
merupakan mandat dari Allah,
bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun.
3. Sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah memiliki
kantor pengawas (dewan az-zimani) yang pertama kali diperkenalkan oleh
Al-Mahdi; dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan at-tawqi) yang menangani
surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah; dewan
penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos. Dewan penyelidik keluhan
(dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejenis pengadilan tingkat banding,
atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang diputuskan secara
keliru pada departemen administratif dan politik. Sistem pemerintahan Bani
Abbasiyah adalah monarki (kerajaan).
4.
Kemunduran
yang dialami oleh Dinasti Umayyah dikarenakan melemahnya sikap solidaritas
internal dinasti Umayyah sendiri, terjadinya pemberontakan dari dalam
akibat ego perebutan politik kekuasaan
5.
Kehancuran
yang membawa runtuhnya dinasti Bani Umayyah di akibatkan oleh faktor
internal istana yang ditandai pembesar-penbesar istana banyak menyimpang
dari koridor kepemimpinan yang terlibat dalam ekploitasi fasilitas istana dan
yang kedua adalah faktor eksternal dari luar istana diantaranya koalisi besar
oleh kaum penentang Bani Umayyah yaitu kaum Syi`ah, Mawali dan Abbasiyah yang
mengakibatkan mereka runtuh dan berahkir setelah terbunuhnya Marwam ibn Muhamma
B. Kritik dan Saran
Dalam penyajian makalah ini, tentunya masih jauh
dari kesempurnaan. Baik dari segi teknis penulisan maupun isi. Oleh karena itu,
kami sebagai penulis mengharap ada masukan-masukan, kritik dan sarannya yang
bersifat membangun, agar kedepannya penyajian makalah berikutnya menjadi lebih
baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Murodi, Islam di kawasan Kebudayaan
Arab, Cet,1; Jakarta :Logos 1999.
A Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta:
P.T. Jayamurti 1997
Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2007
Darsono, Tonggak
Sejarah Kebudayaan Islam, Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003.
Harun nasution ,Islam
ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid 1, Cet.V; jakrta; UI Pres, 1985.
K. Ali , Sejarah
Islam (Tarikh Pramodern), Cet. 3 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
M.Abdul karim ,Sejarah
pemikiran dan Peradaban Islam, cet 1 ;Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2007.
Montgomery Watt, Kejayaan
Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Cet. I, Yogyakarta: PT Tiara
Wacana yogya, 1990
Nasution Harun, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta : UI Press, 1985.
Philip k.Hitti, History
of thdi Arabs, Terj. R cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet
Riyadi, Jakarta ; PT serambi Ilmu
Semesta, 2008
Sayyid al-Waqil Muhammad, Wajah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998
Stryzewska
Bojena Gajane, Tarikh al-Daulat al-Islamiyah, Beirut: al-maktab al-Tijari,
Tanpa Tahun
Yatim Badri ,Sejarah
peradaban Islam, Eds. I;Jakarta Raja Grafindo Persada, 2006.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2008.
[1] A Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: P.T. Jayamurti 1997), hlm. 44.
[2] Ahmad Syafi’i
Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet.
I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 144.
[3] Darsono, Tonggak
Sejarah Kebudayaan Islam, (Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003),
hlm.30
[4] Darsono, Tonggak
Sejarah Kebudayaan Islam, (Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003),
hlm.33
[5] Ibid,
hlm. 68
[7] Montgomery Watt,
Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh
Orientalis, Cet. I, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana yogya, 1990), hlm.
126-127.
[8] Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam, (Cet. 16 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.
45
[9] Sayyid al-Waqil
Muhammad, Wajah Dunia Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm. 47
[10] Badri Yatim, op.cit., hlm. 47
[11] K. Ali , Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), (Cet.
3 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 226
[12] Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam, (Eds. I;Jakarta Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm.43.
[13] Philip k.Hitti, History of thdi Arabs, Terj. R cecep Lukman Yasin &
Dedi Slamet Riyadi, ( Jakarta ; PT serambi Ilmu Semesta, 2008 ) , hlm.
315
[14] M.Abdul karim, Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam, ( cet
1;Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007 ) , hlm.131
[15] Harun nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid 1,(
Cet.V; jakrta ; UI Pres,1985 ), hlm.64
[16] Philip K. Hitti, op. cit, hlm. 352
[17] Ali Murodi, Islam
di kawasan Kebudayaan Arab, ( Cet,1; Jakarta :Logos 1999 ), hlm.343
[18] Philip k.Hitti,
History of thdi Arabs, Terj. R cecep
Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi, ( Jakarta ; PT serambi Ilmu
Semesta ,2008 ) , hlm. 315
DONASI VIA PAYPAL
Bantu berikan donasi jika artikelnya dirasa bermanfaat. Donasi akan digunakan untuk memperpanjang domain https://4rrwani.blogspot.com/. Terima kasih.
Newer Posts
Newer Posts
Older Posts
Older Posts
Comments