Apakah Impianku Harus Tergadaikan
Hari ini adalah hari dimana umurku bertambah 1 tahun,
kini Aku mulai menjadi wanita yang benar-benar akan menginjak dewasa. Di usiaku
yang baru saja menginjak 18 tahun ini, membuatku harus berfikir lebih keras
dalam mencapai cita-citaku. Dan sekarang Aku bingung sekali, setelah lulus SMA
ini Aku harus melanjutkan belajar dimana. Kuliah itulah impianku, tetapi Aku
tahu kedua orangtuaku tak punya biaya untuk kuliahku. Aku beserta adik-adik dan
kakak-kakakku memang hanya bisa sekolah sampai SMA saja, itu yang sering kedua
orang tuaku katakan ketika kami semua sedang berkumpul. Namun, Aku berharap
tidak demikian untukku. Yang ada difikiranku hanya ingin menuntut ilmu, bagiku
biaya bukan menjadi tantangan untukku. Aku juga berharap kelak adik-adikku juga
berfikiran sama denganku. Memiliki mimpi yang besar untuk meraih kesuksesan
yang diawali dengan menuntut ilmu seluas-luasnya. Dan karena alasan itu semua,
di jauh-jauh hari saat Aku masih di bangku SMP Aku sudah menyiapkan bekal dana
untuk Aku kuliah, Aku bekerja paruh waktu dan Aku tabungkan uang yang ku dapat
di bank. Dan ini semua Aku lakukan tanpa sepengetahuan Bapak dan Ibu.
“Rima, kamu sebentar lagi akan lulus SMA ya. Mba yakin
nanti kamu juga pasti akan seperti Mba?” Gurau Mba Naela, kakak pertamaku.
“Maksud Mba?”
“Ya, apa lagi kalau tidak menikah? Mba, sama Mba Uus
setelah lulus SMA sudah langsung dinikahkan sama Bapak dan Ibu. Dan Mba yakin
sebentar lagi kamu pun akan merasakan hal yang sama”
“Apa menikah Mba? Nggak , Rima nggak mau nikah dulu
Mba?” Tolakku
“Dulu Mba juga demikian, tapi Bapak memaksa Mba. Dan
akhirnya Mba pun menikah, akhirnya kini Mba sudah bahagia apalagi dengan
kehadiran Dea di tengah-tengah keluarga kecil Mba”
“Tapi Mba....”
“Sudahlah Rim, apapun nanti keinginan Bapak dan Ibu
Mba ingin kamu bisa menurutinya. Ya sudah Mba harus pulang dulu ke Jambi,
soalnya sudah sore nanti ketinggalan pesawat. Salam buat Bapak Ibu dan
adik-adik ya Rim, Mba nggak bisa nunggu mereka pulang?” Ucap Mba Naela sembari
mencium keningku dan segera pergi dengan menggendong Dea dalam pelukannya.
Aku termenung, Aku memikirkan perkataan Mba Naela.
Memang, Mba Naela dan Mba Uus setelah lulus SMA langsung nikah. Mereka semua
beruntung karena dinikahi oleh seorang polisi. Mereka semua anak teman Bapak
ketika masih SMA. Tetapi, yang paling Aku sedihkan mereka belum bisa mewujudkan
impian-impiannya. Impian mereka harus tergadaikan dengan pernikahan sebuah
pernikahan.
“Bagaimana nasibku nanti. Apakah Aku akan sama dengan
kakak-kakakku?” Ucapku dalam hati
Kini fikiranku menjadi berkecamuk tak menentu. Ketika
Aku sedang duduk termenung di teras rumah, tiba-tiba saja Ibu menghampiriku.
“Lagi mikirin apa Rim? Sepertinya dari tadi Ibu lihat
kamu lagi bingung. Ayo dong cerita sama Ibu? Barangkali Ibu bisa bantu?” Tanya
Ibu sembari mengelus kepalaku
“Ibu... Rima pingin kuliah Bu?” Rengekku sembari
memeluk Ibu
“Apa kuliah?” Kaget Ibu sembari melepaskan pelukanku
“Iya Bu,“
“Rima, Ibu pun juga sebenarnya berharap kamu dan
adik-adikmu bisa sekolah yang tinggi. Tapi, Ibu tidak punya uang untuk
biayanya...”Kata Ibu sembari kulihat mata Ibu berlinang-linang
“Ibu menangis? Maafin Rima Bu... Rima udah buat Ibu
nangis... maafin Rima Bu?” Sembari kembali memeluk Ibu
“Nggak Rim, kamu nggak salah..”
“Bu, tetapi disekolahan Rima ada program beasiswa
kuliah untuk siswa yang berprestasi tetapi tidak mampu Bu. Bolehkah Rima ikut
Bu?”
Tiba-tiba saja Bapak datang.
“Bapak?” Ucapku kaget
“Bapak membolehkanmu Rim, Bapak bangga memiliki anak
yang cerdas dan berprestasi seperti kamu?” Kata Bapak sembari mengelus kepalaku
“Ibu juga membolehkan...”
“Terima kasih Pak, Bu... Rima janji tidak akan
mengecewakan Ibu dan Bapak.” Sembari memeluk Bapak dan Ibu.
“Iya nak, Ibu dan Bapak percaya.” Jawab Ibu
Akhirnya Aku pun mendaftarkan diri untuk mengikuti SNMPTN melalui jalur
undangan, dan walhasil Aku pun lolos ketrima di PTN di Semarang dengan program
bidikmisi. Ibu dan Bapak serta semua saudaraku sontak bahagia mendengar kabar
ini.
“Semoga ini awal kesuksesanmu adikku?” Ucap Mba Uus,
kakak keduaku
“Aamiin Mba.. minta doanya ya Mba?”
“Iya, semua pasti mendoakan yang terbaik buat kamu”
Akhirnya setelah lebaran Aku pun berangkat ke semarang
dengan ditemani kedua orangtuaku. Dan keesokan harinya Aku pun memulai
aktivitasku menjadi seorang mahasiswi di Fakultas Ilmu Pendidikan Biologi. Aku
sangat senang dan sangat menikmatinya.
Namun, selang waktu 3 tahun Aku belajar di Semarang. Tiba-tiba saja Mba Naela
datang menemuiku.
“Mba, kok tumben banget jenguk Rima. Kan Rima baru
saja kuliah 3 bulan Mba. Uang yang Bapak dan Ibu kirim juga masih ada kok?”
Ucapku kaget
“Ya Rim, Mba gak bisa njelasin sekarang. Sebaiknya
sekarang kamu ikut Mba pulang kerumah?”
“Loh, tapi kan Rima belum liburan Mba? Nanti, 3 bulan
lagi baru liburan.”
“Sudahlah, kamu nurut saja sama Mba”
Akhirnya, Aku pun tidak bisa menolaknya. Aku ikut
pulang bersama Mba Naela, di sepanjang perjalanan hatiku pun bertanya-tanya.
Berulang kali Aku tanyakan maksud tujuan Mba Naela mengajakku pulang apa, tapi
ia tak juga menjawabnya. Dan akhirnya, setelah 5 jam perjalanan menggunakan bus
Aku dan Mba Naela pun akhirnya sampai di rumah. Rumah sepi, dan gak ada yang
berubah seperti 3 bulan yang lalu.
“Ayo, cepetan Rim?” Seru Mba Naela
“Iya Mba.”
Dan ketika Aku masuk dan mengucapkan salam, ternyata
Bapak dan Ibu sudah menunggu Aku dan Mba Naela di ruang tamu. Aku pun masih
bertanya-tanya sebenarnya ada apa ini.
“Ibu sama Bapak sehat kan?” Tanyaku kuatir, sembari
memeluk mereka berdua
“Iya, alhamdulillah kami berdua sehat nak.” Jawab Ibu
“Alhamdulillah, Rima kira ada apa-apa?”
“Tidak ada nak.” Ucap Ibu dengan sedikit wajah penuh
kecemasan
“Nak, maafkan Bapak dan Ibu ya?” Tiba-tiba Bapak
meminta maaf kepadaku
“Maaf kenapa pak? Tidak ada yang perlu di maafin,
karena Bapak dan Ibu tidak punya salah apa-apa sama Rima” Jawabku dengan penuh
rasa kebingungan
“Bapak dan Ibu ini, berbelit-belit banget ngomongnya.
Sudahlah, biar Naela saja yang ngomong sama Rima.” Sambung Mba Naela
Aku hanya terdiam saja, sungguh Aku merasa sangat
bingung dengan apa yang terjadi saat ini.
“Begini Rim, Kamu tahu kan juragan Tono?”
“Tahu Mba, dia kan pemilik ladang dimana Bapak dan Ibu
kerja kan?” Jawabku
“Ya benar sekali, kita punya hutang sama juragan Tono
ya kira-kira 12 jutaan. Dan sampai sekarang, Bapak dan Ibu serta kakak-kakakmu
ini belum bisa melunasinya.” Jelas Mba Naela dengan air mata berlinang.
“Apa 12 juta? Buat apa minjam uang sebanyak itu Mba”
Aku kaget bukan main mendengar itu
“Iya itu terpaksa Bapak dan Ibu lakukan buat membiayai
adik-adik kamu dan juga buat biaya hidup kamu di semarang, dan terlebih lagi
kemarin juragan Tono datang ke rumah. Ia menagih uang itu Rim. Padahal kita
belum punya uang untuk melunasinya, juragan Tono juga mengancam kalau besok
kita belum bisa melunasinya rumah ini dan seluruh isinya akan disita.”
“Ya allah, kenapa Mba dan Bapak Ibu gak cerita sama
Rima.”
“Maafin Bapak dan Ibu nak, kami tidak ingin mengganggu
konsentrasimu belajar.” Ucap Bapak
“Tidak pak, sama sekali tidak. Lalu, apa yang bisa
Rima bantu?” Tanyaku kepada Mba Naela
“Kemarin, sebelum juragan Tono pulang ia memberi
syarat. Kalau kita tidak bisa melunasinya, agar rumah kita tidak sita maka cara
satu-satunya adalah.......” Mba Naela tidak melanjutkannya
“Cara satu-satunya apa Mba?” Aku sangat Penasaran.
“Cara satu-satunya adalah kamu harus menikah dengan
putra juragan Tono yang bernama Damar.”
“Apa menikah? Apa tidak ada cara lain Mba?”
“Tidak ada Rim”
Seketika ruangan tamu itu menjadi suasana yang sangat
memilukan, air mata menghiasi pipi Bapak, Ibu dan Mba Naela. Aku pun juga tak
kuasa menitihkan air mata.
“Rima akan menikah dengan Damar Mba.” Ucapku dengan
berat hati
“Apa? Kamu yakin Rim?” Jawab Mba Rima
“Tidak nak, jangan lakukan itu.” Sambung Ibu
“Rima sudah memutuskan Bu, Pak kalau Rima mau menikah
dengan Damar?”
“Apa kamu sudah memutuskan baik-baik nak?” Tanya Bapak
“Iya sudah Pak,”
“Ya allah, terima kasih banyak ya Rim. Terima kasih
kamu sudah mau menolong keluarga kita.” Kata Mba Rima sembari memelukku
Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepalaku, namun
sebenarnya hatiku merasa belum sepenuhnya menerima ini. Karena otomatis, jika
Aku menikah dengan Damar Aku tidak akan bisa melanjutkan kuliahku. Dan semua
mimpi-mimpiku harus Aku kubur.
Hari demi hari berlalu, setelah kini lamanya 2 minggu Aku meninggalkan kampus
untuk membantu Bapak dan Ibu di ladang dan juga persiapan untuk pernikahanku.
Aku sering mendapatkan sms dan telepon dari teman-temanku bahkan tekadang
dosenku saja akhir-akhir ini kerap menelelponku. Mereka menanyakan alasanku
mengapa Aku absen tanpa kabar sudah hampir 2 minggu, namun Aku akhirnya
terpaksa berbohong. Jika Aku ada kepentingan keluarga dan tidak bisa Aku
tinggalkan, dan syukurlah mereka mau percaya dan mengerti.
Dan ternyata tanpa
sepengetahuanku dan keluargaku, Damar dan keluarganya jauh-jauh hari sudah
menyiapkan sebuah pesta pernikahan denganku. Dan ternyata itu jatuh pada besok
pagi, mendengar itu semua Aku sangat kaget dan sungguh tidak mempercayainya
kalau pernikahan ini begitu cepat.
“Rim, besok kamu akan menikah dengan Damar sekarang
kamu harus mempersiapkan fisik kamu ya biar acara pernikahan besok bisa
lancar?” Nasehat Mba Naela
Aku hanya menganggukkan kepalaku, dalam sebuah
tahajudku ketika di sepertiga malam terakhir Aku masih memohon keajaiban kepada
Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, agar Aku tidak bisa mengikuti
pernikahan besok dan Aku bisa melanjutkan kuliahku agar cita-cita serta
impianku dapat Aku wujudkan. Tak terasa air mata ini terus mengalir dan menetes
dari pelupuk mata sampai jatuh ke telapak tanganku yang sedang berdoa kepada
Allah.
“Ya Allah, Engkau tahu yang terbaik untuk hamba-Mu ini
yaa Rabb... jika memang inilah takdirku Aku akan ikhlas menjalaninya,
semata-mata karena-Mu yaa Rabb.”
Keesokan harinya, disaat adzan shubuh mulai berkumandang, ayam-ayam mulai
bersahut-sahutan berkokok serta siulan burung-burung di ranting pohon membuatku
bergegas bangun untuk bersiap untuk menyegerakan sholat shubuh.
“Rima, ayo cepetan kita bersiap-siap ke rumah Damar.”
Ajak Mba Naela
“Sekarang Mba?”
“Iya lah, kapan lagi. Kan akad nikahnya nanti jam
08:00 pagi.”
“Ya sebentar ya Mba, Rima mau sholat shubuh dulu.”
“Belum sholat yah. Ya sudah, Mba sama Ibu Bapak dan
adik-adikmu menunggu kamu di ruang tamu ya?” Jawab Mba Naela sembari segera
keluar dari kamarku
“Iya Mba.”
Kemudian Aku mengambil air wudlu dan segera sholat
shubuh, dan setelah sholat shubuh Aku segera bersiap bersama-sama keluarga
besarku untuk pergi ke rumah Damar. Memang, segala acara dari keluarga Damar
yang mengurusinya. Karena, keluargaku tidak memiliki biaya untuk
menyelenggarakan pesta-pesta semacam itu. Rasanya berat memang, saat kaki ini
ku langkahkan menuju rumah Damar. Namun di hadapan Bapak Ibu Aku ingin berusaha
tegar dan suka cita. Setelah kurang lebih berjalan 10 menit, akhirnya sampai
juga di rumah juragan Tono. Sambutan dari keluarganya cukup baik, dan Aku pun
langsung di ajak untuk masuk ke dalam untuk di rias.
Waktu menunjukkan pukul 07:30 pagi, kini Aku telah
berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik dengan riasan make-up di
wajahku. Kebaya dan jilbab yang berwarna kuning emas sangat cantik dan sangat
cocok denganku. Seharusnya, hari ini Aku sangat senang karena Aku akan segera
menjadi seorang istri. Tapi entahlah apa yang Aku rasakan saati ini, namun Aku
mencoba untuk selalu tersenyum.
Ketika Aku sedang duduk di kamar pengantin sembari
menunggu akad nikah berlangsung 30 menit lagi, tiba-tiba saja ada seseorang
yang mengetuk pintu kamar.
“Assalamualaikum Mba Rima?”
“Waalaikum salam,” Ucapku segera membukakan pintu
“Sari?” Ucapku. Ternyata itu adalah adikku yang paling
kecil
“Mba, ada yang nyariin Mba di rumah. Bapak-bapak pakai
jas, pakaiannya sangat rapi sambil membawa tas yang lumayan besar Mba.” Jelas
Sari dengan sangat polosnya
“Siapa? Ya sudah Mba akan kesana, tapi Sari di kamar
Mba dulu ya. Ntar kalau ada yang nyariin Mba, bilang Mba lagi pulang ke rumah
sebentar ada yang ketinggalan.”
“Sari tidak tahu Mba. Iya Mba.”
Akhirnya, lewat pintu belakang Aku pun segera bergegas
pulang ke rumah. Dan setelah Aku sampai di rumah, memang ada 2 orang laki-laki
di teras depan rumah dengan sebuah mobil mewah terparkir di halaman. Namun,
sama sekali Aku tidak mengenalnya.
“Benar anda yang bernama Rimania Melati Putri?”
“Benar. Mari silahkan masuk dulu dalam.” Aku mengajak
kedua orang itu untuk masuk
“Sebentar ya Bapak-bapak saya ambilkan minum dulu.”
“Oh tidak usah... kami buru-buru. Begini, maksud
kedatangan kami. Kami dari bank tempat saudari menabung, dan kami ingin
memberitahukan bahwa saudari telah menjadi pemenang dalam acara undian di bank
tempat anda menabung.”
“Dan hadiah yang bisa anda dapat adalah sebuah mobil
mewah yang ada di depan dengan uang tunai total 20 juta.”
“Maaf, apakah yang barusan Bapak-Bapak ini katakan
benar? Tidak salah?” Ucapku sangat tidak percaya
“Benar, pemenang atas nama Rimania Melati Putri.”
Kemudian Bapak-Bapak itu memperlihatkan data-datanya.
Dan itu memang benar Aku.
“Ya Allah, terima kasih banyak.” Seruku dengan sangat
bahagia
Dan Aku pun akhirnya menerima hadiah itu. Setelah itu
Aku langsung berlari menuju rumah juragan Tono, untuk segera membayar
hutang-hutang Bapak dan Ibu.
“Nak, kamu kemana saja. Ini akad nikah sudah mau di
mulai?” Tanya Ibu
“Ibu, Rima tidak akan menikah dengan Damar Bu. Karena
Rima sudah punya uang untuk membayar hutang-hutang kita kepada juragan Tono.”
Jawabku sembari membuka tas yang di dalamnya berisi banyak sekali uang
“ Subhanallah, kamu dapat uang sebanyak ini dari
mana?”
“Alhamdulillah, tadi ada petugas bank bu. Dan katanya
Rima menang dalam undian yang di adakan di bank tempat Rima menabung itu, dan
hadiahnya mobil sama uang tunai 20 juta ini bu?”
“Ibu tidak mengerti, kenapa kamu bisa menabung?”
“Panjang ceritanya Bu, nanti Rima ceritakan di rumah.
Yang terpenting sekarang kita bayar hutang kita dulu Bu.
“Iya nak.”
Dan akhirnya, Aku memberanikan diri untuk
berbicara dengan juragan Tono.
“Juragan, ini uang 20 juta untuk membayar hutang
keluarga saya kepada juragan. Dan karena saya sudah bisa melunasinya, maka saya
berhak membatalkan semuanya.”
“Apa 20 juta? Bagaimana kamu bisa mendapatkan uang
sebanyak itu?” Jawab juragan Tono dengan penuh keheranan
“Juragan tidak perlu tahu, yang jelas uang ini halal.
Saya tahu keluarga saya hanya hutang 12 juta kepada juragan, tapi ambillah
semua uang ini. Dan janganlah ganggu keluarga saya lagi. Terima kasih.”
Akhirnya juragan Tono pun menerimanya, dan Aku bersama
keluargaku segera pulang ke rumah. Aku ceritakan kepada Bapak dan Ibu serta
semua saudaraku, kalau sejak SMP Aku sudah bekerja paruh waktu dan Aku
tabungkan uangku di bank.
“Ya Allah Rima, Kami semua bangga kepadamu.” Ucap
Bapak setalah mendengar penjelasanku.
“Iya, terima kasih Bapak Ibu dan semuanya.”
Akhirnya keesokan harinya, Aku memutuskan untuk kembali ke Semarang dan
menyerahkan mobil mewah itu untuk kedua orang tuaku dan saudaraku.
“Hati-hati ya nak?” Ucap Ibu
“Iya Bu,”
Lambaian tangan dari keluargaku dan seucap doa
mengantarkanku berangkat ke Semarang untuk kembali kuliah.
Dan kini, Aku memulai mengumpulkan semangat-semangat
baru untuk kembali menuntut ilmu demi impianku menjadi seorang guru Biologi.
Bermula dari sebuah impian dan tekat yang kuat untuk mewujudkannya serta dengan
tawakal, kelak apa yang kita inginkan akan terwujud. Percayalah pada diri sendiri,
kalau kita itu mampu dan pasti bisa mewujudkan semua mimpi-mimpi kita. Tidak
ada impian yang bisa tergadaikan, tapi kita sendiri yang membiarkan impian kita
tergadaikan oleh sesuatu hal.
SELESAI
DONASI VIA PAYPAL
Bantu berikan donasi jika artikelnya dirasa bermanfaat. Donasi akan digunakan untuk memperpanjang domain https://4rrwani.blogspot.com/. Terima kasih.
Newer Posts
Newer Posts
Older Posts
Older Posts
Comments