PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH
(KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN)
Pendahuluan
Peradaban Islam mulai di bangun oleh Nabi Muhammad saw, ketika berhasil merumuskan masyarakat Madani dan Piagam Madinah,1 kemudian di lanjutkan oleh Khulafa Rasyidin
(Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Afffan, dan Ali Ibn Thalib)
sistem yang di kembangkan pada saat itu adalah sistem demokrasi di mana
pucuk pimpinan di pilih melalui Musyawarah2 oleh beberapa orang yang di tunjuk oleh kaum muslimin atau khalifah sebelumnya,3
pasca meninggalnya Ali dan naiknya Muawiyah, sistem pemerintahan dalam
Islam berubah dratis dari sistem kekhilafahan ke Monarkhi Absolut.
Monarkhi Absolut di buktikan dengan di pilihnya Yazid sebagai putra
mahkota, kemudian mengangkat dirinya sebagai Kholifah fi Allah,
mulailah babak baru dalam pemerintahan Islam dan berlangsung terus
menerus sampai kepada Khalifah Turki Usmani sebagai konsep pemerintahan
Khalifah (penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat)4 terakhir dalam dunia Islam.
Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa Dinasti
Abbasiyah. Di buktikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu
pengetahuan di awali dengan menerjemahkan naskah – naskah asing terutama
yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat ilmu
pengetahuan dan perpustakaan Bait al- Hikmah, dan terbentuknya
madzhab- madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari
kebebasan berfikir yang menjadi ciri khas pada masa Abbasiyah lambat
laun mengalami kemunduran sebab – sebab kemunduran Dinasti ini di latar
belakangi oleh faktor internal dan eksternal.
Imperium kedua Islam ini muncul setelah terjadi revolusi sosial yang
di peroleh oleh para keturunan Abbas dan di dukung oleh kelompok oposisi
yang membrontak kepada kekuaasan Bani Umayyah seperti Syiah, Khawarij,
Qodariyah, Mawali (non –Arab) dan suku Arab bagian Selatan.5
Makalah ini akan membahas sedikit proses munculnya Dinasti Bani
Abbsiyah, kemajuan yang di capai, dan faktor – faktor yang menyebabkan
terjadinya kemunduran pada masa Dinasti Abbasiyah. Dengan harapan akan
terbuka wacana pemikiran terhadap peradaban Islam pada masa itu dan
hikmah apa yang dapat kita ambil untuk di jadikan spirit dan pelajaran
demi kemajuan Islam sekarang .
Proses Munculnya Dinasti Abbasiyah
Perjuangan Bani Abbas untuk keluar dari bayang- bayang Dinasti
Umayyah secara intensif baru di mulahi berkisar antara 5 tahun menjelang
revolusi Abbasiyah. Pelopor utamanya adalah Muhammad Ibn Ali al-Abbas
di Hamimah. Ia telah banyak belajar dari kegagalan Syiah di karenakan
kurang terorganisis perencanaan perlawanan. Selain itu secara politik6
kekuatan Syiah hanya terpusat di Kufa, yang notabene tidak bisa
bergerak secara leluasa. Dari itulah kemudian Abbas mengatur
pergerakanya secara rapi dan terencana sama seperti konsep gerakan-
gerakan pada masa sekarang. Di mana harus di mulai dari perencanaan isu
politik yang matang, kemudian bergerak secara sistematis dan taktis.
Muhammad Ibn Ali al-Abbas mulai melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang sistematis, diantaranya; Pertama, membuat propaganda agama untuk menghasut rakyat menentang kekuasaan Umayyah, serta menanamkan ide-ide tentang hak khalifah. Kedua,
membantuk faksi-faksi Hamimah, faksi Kufah, dan faksi Khurasan. Ketiga
faksi ini bersatu dalam satu tujuan menumbangkan Dinasti Umayyah. Ketiga,
ide tentang persamaan antara orang Arab dan Non Arab. Namun di balik
isu propaganda itu ada isu yang paling penting yaitu tegaknya Syariat
Islam, dimana hal tersebut tidak pernah terjadi pada masa Dinasti Bani
Umayyah.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan dua tahap, yakni Pertama
dilaksanakan dengan sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang,
mereka berdakwah atas nama Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi
tempat-tempat yang jauh, dan dalam kesempatan menunaikan Haji di Mekkah.
Para pendakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para pemimpinnya
yang berjumlah 12 orang, dan pucuk pimpinnanya adalah Muhammad Ibn Ali. Kedua, menggabungkan para pengikut Abu Muslim al-Khurasan dengan pengikut Abbasiyah.7
Propaganda-propaganda tersebut sukses membakar semangat api kebencian
umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah. Langkah pertama memperoleh
sukses besar melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Abu
Muslim al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas adalah ahli al-Ba’it,
sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan menyebarkan kebencian dan
kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan mengembangkan ide-ide
persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena objek
propaganda Abu Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene
merupakan basis kelompok Mawali.
Propaganda dengan cara menghasut dan menyombongkan diri
(membangga-bangkan kelompoknya sendiri) yang dilakukan oleh Bani Abbas
sangat bertentangan dengan politik Islam dalam al-Qur’an surat
al-Qashash ayat 83 dikatakan :
Artinya : “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang
yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka)
bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang
bertakwa”.
Setelah Muhammad Ibn Ali meninggal tahun 743 M, perjuangan
dilanjutkan oleh saudaranya Muhammad Ibn Ibrahim sampai tahun 749 M
karena diketahui oleh Marwan Ibn Muhammad (Khalifah Bani Umayyah),
Ibrahim ditangkap dan dipenjarakan di Harran, sebelum dieksekusi,
Ibrahim telah menyerahkan kepemimpinan kepada keponakannya Abdullah Ibn
Muhammad dan memerintahkan pusat gerakan di pindahkan dari Hamimah ke
Kufah, maka pindahlah mereka diiringi pembesar-pembesar Abbasiyah yang
lain seperti Ja’far, Isa Ibn Musa, dan Abdullah Ibn Ali. Sedangkan
pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salama. Pada masa inilah
revolusi Abbasiyah berlangsung.
Pimpinan Bani Umayyah di Kufa, Yazid Ibn Umar Ibn Hubairah ditaklukan
oleh Abu Salama pada tahun 132 H dan diusir ke Wasit, selanjutnya
Abdullah Ibn Ali diperintahkan mengejar Khalifah Umayyah terakhir Marwan
Ibn Muhammad bersama pasukannya melarikan diri, dan dapat dipukul di
dataran rendah Sungai Zab (Tigris), pengejaran dilakukan ke Mausul,
Harran, dan menyebrang Sungai Eufrat sampai ke Damaskus. Kemudian Marwan
melarikan diri hingga Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir
tahun 132 H/750 M di bawah pimpinan Salib Ibn Ali salah seorang paman
Abbas yang lain. Dengan kematian Marwan Ibn Muhammad maka berdirilah
Dinasti Abbasiyah sebagai pengganti Dinasti Umayyah.
Sukses Kepemimpinan
Abdullah Ibn Muhammad alias Abu Abbas diumumkan sebagai khalifah
pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M. dalam khutbah pelantikan yang
disampaikan di masjid Kufah, ia berjanji akan memerintah sebaik-baiknya
dan melaksanakan syariat Islam. Selain itu ia menyebut dirinya dengan
as-saffa (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Hal ini
sebenarnya akan menjadi preseden yang buruk bagi suatu kekuasaan, dimana
kekuatan tergantung kepada pembunuhan yang ia jadikan sebagai alat
pembenar bagi kebijakan politiknya. Ini tentu bertentangan dengan tugas
ideal seorang penguasa adalah :
- Memelihara iman dan prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama dengan suara bulat oleh Ulama-ulama salaf dari umat Islam.
- Menegakkan hokum terhadap para pelanggar hokum dan memecahkan masalah secara adil terhadap orang-orang yang sedang berselisih.
- Mengatur keamanan wilayah hingga penduduk bisa hidup tenang dan aman, baik di rumah, di perjalanan maupun di waktu melaksanakan tugas sehari-hari.
- Melindungi hak-hak perorangan dari penduduk serta menegakkan hokum sesuia dengan hokum Islam hingga setiap kejahatan terhadap Allah dapat ditekan hingga titik yang amat terbatas.
- Menjaga perbatasan Negara dengan berbagai pelaralatan yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan serangan dari luar.
- Berjuang melawan orang-orang yang melawan Islam, hingga kebenaran Allah bersinar di seantero wilayah itu.
- Memungut pajak dan mengumpulkan zakat sesuai dengan aturan syari’ah.
- Mengatur anggaran belanja untuk gaji karyawan/pejabat. Dan pembelanjaan lain tanpa boros atau pelit.
- mengangkat pegawai secara jujur berdasarkan keahlian seseorang dalam posisinya (tidak kolusi) agar tercapai kelancaran pemerintahan dan kemakmuran.
- Mengawasi tugas-tugas seluruh personal terutama menguji para pelaksana tugas-tugas kemasyarakatan hingga mampu mengarah pemerintahan untuk melindungi bangsa dan agama.8
Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari
tahun 132 H-656 H. selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
ditetapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan
budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu,
pemerintahan Abbasiyah di bagi menjadi 5 periode :
- Periode I (132 H/750 M- 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama, Khalifah yang memerintah adalah As-Saffah 132-126 H, Ja’far al-Mansur 136-158 H, al-Mahdi 158-169 H, al-Hadi 169-170 H, Harun ar-Rasyid 170-193 H, al-Amin 193-198 H, al-Ma’mun 198-218 H, al-Mu’tasim 218-227 H, al-Watsiq 227-232 H.
- Periode II (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama, Khalifah yang memerintah adalah al-Mutawakkil 232-247 H, al-Muntashir 247-248 H, al-Musta’in 248-252 H, al-Mu’tazz 252-255 H, al-Muhtadi 255-256 H, al-Mu’tamid 256-279 H, al-Mu’tadhid 279 – 289 H, al-Muktafi 289-295 H, al-Muqtadir 295-320 H, al-Qahir 220-222 H, ar-Radhi 322-329 H, al-Muttaqi 329-333 H, al-Mustakfi 333-334 H.
- Periode III (334 H/945 M – 447 H/1055 M), disebut kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah atau masa pemerintahan Persia kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Muthi’ 334-363 H, ath-Tha’I 363 – 381 H, al-Qadir 381 – 422 H.
- Periode IV (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), disebut masa kekuasaan Dinasti Saljuk dalam pemerintahan Abbasiyah atau masa pengaruh Turki kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Qa’in 422-467 H, al-Muqtadi 467-487 H, al-Mustazhhir 487-512 H, al-Mustasyid 512-529 H, ar-Rasyid 529-530 H, al-Muqtafi 530-555 H, al-Munstanjid 555-566 H, al-Mustadhi’ 566-575 H.
- Periode V (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), disebut masa khalifah bebas dari pengaruh Dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar di bawah pemimpin Hulaqu Khan tahun 656 H. khalifah yang memerintah adalah an-Nashir 575-622 H, azh-Zahir 622-623 H, al-Mustanshir 623-640 H, al-Musta’shim 640-656 H.9
Kebijakan politik as-Saffah yang pertama pada masa pemerintahannya
adalah membasmi keluarga Bani Umayyah yang masih tersisah dengan cara
mengerahkan segenap pasukan yang dipimpin oleh pamannya sendiri Abdullah
Ibn Ali. Hal ini dilakukan untuk mereformasi semua sistem Dinasti
Umayyah agar sesuai dengan ajaran Islam murni (Syariat Islam). Karena
dianggap korup, dekaden, otoriter dan sekuler. Selain itu karena terlalu
benci sampai-sampai mereka juga membongkar semua kuburan Bani Umayyah
dan jenazahnya di bakar. Hanya ada dua kuburan yang selamat dari
kekejaman tersebut yaitu kuburan Muawiyah Ibn Abi Sofyan karena dianggap
sebagai sahabat Nabi dan Umar Ibn Abdul Aziz yang selama masa
pemerintahannya menerapkan keadilan dengan seadil-adilnya. Disamping itu
Ia juga memberikan sebuah lahan di Hamimah untuk digunakan oleh
keluarga Abbas, sehingga bisa melancarkan propaganda dengan
sebaik-baiknya pasca meninggalnya. Dan dari revolusi itu pulah hanya
satu orang yang berhasil selamat yaitu Abdurrahman ad-Dakhil,
kemudian mendirikan sebuah Amir di Andalusia. Al-Saffah hanya memerintah
selama 4 tahun, setalah meninggal pada 134 H, pemerintahan diambil alih
oleh adiknya Ja’far al-Mansur setalah dapat menyingkirkan pamannya
Abdullah Ibn Ali, yang juga berusaha menjadi khalifah.
Ketika naik tahta langkah yang dilakukan oleh al-Mansur adalah
menindak tegas pemberontak yang dilakukan oleh golongan Syi’ah yang
merasa disingkirkan pasca naiknya as-Saffah, pemberontakan yang
dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan yang tidak mau tunduk kepada
pusat, penduduk Syiria yang masih tunduk kepada pemerintahan Dinasti
Umayyah dan orang-orang yang kecewa kepada pemerintahan baru. Masa ini
dapat dikatakan sebagai masa perjuangan dan konsolidasi untuk
mengamankan eksistensi Dinasti Abbasiyah. Berkat visi politik dan
pendekatan pragmatis yang dilakukan oleh al-Mansur, maka terjadi
kestabilan pemerintah dapat terjaga. Kemudian al-Mansur mengangkat
putranya al-Mahdi dan Isa Ibn Musa untuk menggantikan posisinya kelak
ketika Ia meninggal sebagaimana perjanjian dengan as-Saffah. Sebenarnya
tradisi ini sudah ditanamkan oleh Muawiyah ketika mengangkat anaknya
Yazid. Padahal sejarah membuktikan bahwa dari tradisi ini muncul
kecemburuan sosial yang menyebabkan terjadi ketidakpuasan dan berakhir
pada pemberontakan dibeberapa daerah, terutama dari kalangan Syi’ah dan
Khawarij. Pola seperti ini juga membuktikan bahwa Dinasti Abbasiyah
menerapkan kembali sistem Monarkhi Absolut yang dulu dipraktekkan oleh
kerajaan Persia, Romawi. Setelah dapat memperkokoh kekuasaan Abbasiyah
al-Mansur meninggal karena sakit dalam suatu perjalanan Haji kelima
bersama rombongan keluarga dan pembesar Abbasiyah. Dia meninggal dalam
usia 65 tahun setelah memerintah selama 21 tahun.10
Pemerintah Abbasiyah kemudian dipegang oleh putranya al-Mahdi, yang
baru berusia 30 tahun. Al-Mahdi memulai zaman pemerintahannya dengan
membebaskan semua tahanan, kecuali penjahat yang dipenjarah menurut
Undang-Undang dan memberikan bantuan cara hidup kepada orang-orang yang
masih dipenjara dan yang anggota tubuhnya cacat. Kemudian memerintahkan
untuk membangun beberapa bangunan Haram dan Masjid Nabawi dan
memerintahkan untuk membangun beberapa bangunan besar beserta
kolam-kolam di sepanjang jalan menuju Mekkah sebagai tempat persinggahan
para musafir dan mebangun pos yang menghubungkan Baghdad dengan wilayah
Islam lainnya. Selain itu, al-Mahdi juga membuat posko pengaduan dan
penganiayaan serta mengembalikan harta yang dirampas ayahnya kepada
pemiliknya.11
Kemudian menunpas gerakan al-Muqanna’ al-Khurasan yaitu sebuah
kelompok yang ingin menuntut balas atas kematian Abu Muslim al-Khurasan
dan merampas kekuasaan Abbasiyah. Lalu al-Mahdi mewariskan jabatan
khalifah kepada anaknya al-Hadi dan Harun ar-Rasyid, tetapi keinginannya
itu terhalang oleh Isa Ibn Musa. Berkat jabatan putra mahkota inilah
Isa Ibn Musa mengalami dua kali kekejaman yaitu pada masa al-Mansur dan
al-Hadi. Setelah dipaksa, ditanggalkanlah gelar tersebut oleh Isa Ibn
Musa, maka al-Mahdi melantik anaknya al-Hadi sebagai putra mahkota pada
160 H dan dilanjutkan melantik Harun ar-Rasyid tahun 166 H.12
dari sini dapat kita pahami bahwa cara-cara kekerasan merupakan
alternatif utama yang diambil oleh Dinasti Abbasiyah dalam menyelesaikan
setiap masalah yang dihadapi terutama masalah-masalah politik. Padahal
hal ini jelas bertentangan dengan agama Islam dan prilaku Nabi Muhammad.
Setelah al-Mahdi mangkat, kekuasaan Abbasiyah digantikan oleh al-Hadi
169-170 H, langkah awal yang dilakukan al-Hadi adalah melantik ar-Rabi’
Ibn Yunus sebagai menteri, tetapi beberapa waktu kemudian ar-Rabi’ Ibn
Yunus digantikan oleh Ibrahim Ibn Zakuan al-Harrani dan bagaimana
melenyapkan Harun ar-Rasyid agar mau menanggalkan gelar putra mahkota
sehingga anaknya Ja’far dapat menggantikannya kelak. Salah satu sifat
penguasa adalah bagaimana kekuasaan itu langgeng dan hanya berputar
disekitar garis keturunannya. Oleh karena itu kekuasaan itu harus
dipertahankan mati-matian, jika perlu dengan menghalalkan segala cara.
Kekuasaan al-Hadi tidak berumur panjang hanya satu tahun, karena
al-Hadi di racun oleh ibunya Khaizuran yang lebih menginginkan Harun
ar-Rasyid sebagai penguasa. Harun ar-Rasyid 170-193 H naik tahta
menggantikan al-Hadi pada usia 22 tahun. ar-Rasyid merupakan puncak
kegemilangan pemerintahan Abbasiyah. Dimana ilmu pengetahuan berkembang
luas, kekayaan melimpah, dan stabilitas pemerintahan terkendali,
ditambah lagi kebijakan pembagian kekuasaan yang adil antara putra
mahkotanya yaitu al-Ma’mun untuk wilayah Khurasan, wilayah Irak untuk
al-Amien dan semenanjung Arab untuk al-Qasim.
Dalam masalah pemerintahan, ar-Rasyid dibantu oleh seorang Wazir yang
bernama Yahya bin Barmak, terutama setelah ibunya Khaizuran meninggal
dunia pada 3 tahun kekuasaan khalifah. Yahya bin Bermak dibantu juga
oleh kerabat dan keluarganya. Berkat dirinya, orang-orang Bermak dapat
menguasai dapat menguasai pemerintahan Abbasiyah hingga beberapa tahun.13
Ar-Rasyid meninggal ketika menumpas pemberontakan yang terjadi di
Khurasan yang dipimpin oleh Rafi’ Ibn Laith. Namun sebelumnya ar-Rasyid
sudah melantik al-Amien sebagai penggantinya di Baghdad dan Yahya Ibn
Sulaiman untuk menjalankan urusan pemerintahan.14
Al-Amien melanjutkan estapet kepemimpinan Dinasti Abbasiyah dari
tahun 193-198 H. namun Ia kurang memberikan perhatian kepada
pemerintahan, karena terlalu banyak bersenda gurau dan berpoya-poya.
Ketika dating tentara al-Ma’mun dari Khurasan di bawah pimpinan Tahir
Ibn al-Husain dan Hatsamah Ibn A’yam, al-Amien tidak bisa menghalaunya
dan kemudian terbunuh.
Meninggalnya al-Amien langsung digantikan oleh al-Ma’mun (198-218).
Karena memperoleh kekuasaan dengan cara kekerasan, maka pada awal
kekuasaannya banyak pihak-pihak yang merongrong terutama pasca
kepindahannya dari Khurasan ke Baghdad. Namun semua itu dapat diatasi,
bahkan kekuasaan al-Ma’mun mengalami kejayaan seperti pada msa Harun
ar-Rasyid. Pada masa ini juga aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai
madzhab nasional. Al-Ma’mun wafat sewaktu berperang di Tursur pada usia
48 tahun. Namun sebelumnya ia sudah melantik saudaranya al-Mu’tashim
sebagai putra mahkota yang akan menggantikannya.15
Pasca meninggalnya al-Ma’mun kekuasaan Abbasiyah mulai mengalami
kemunduran ditambah lagi kuatnya dominasi orang-orang Turki dan Persia,
sehingga setiap saat siap merongrong kewibawaan Baghdad. Puncaknya pada
masa pemerintahan al-Mutawakkil, dimana Ia mengangkat panglima besar
Ashar yang berkebangsaan Turki16 dan mulailah berdiri Dinasti-Dinasti kecil merdeka di sekitar Baghdad.
Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagai disebabkan oleh stabilitas
politik dan kemajuan ekonomi kerajaan yang pusat kekuasaannya terletak
di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban Islam yang dibuat oleh Dinasti
Abbasiyah adalah :
- Bidang Politik dan Pemerintahan
Kemajuan politik dan pemerintahan yang dilakukan oleh Dinasti
- Memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Kemudian menjadikan Baghdad sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dijadikan “kota pintu terbuka” sehingga segala macam bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan bermukin di dalamnya. Dengan demikian jadilah Baghdad sebagai kota international yang sangat sibuk dan ramai.
- Membentuk Wizarat untuk membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan Negara. Yaitu Wizaratul Tanfiz sebagai pembantuk khalifah dan bekerja atas nama khalifah dan Wizaratul Rafwidl sebagai orang yang diberi kuasa untuk memimpin pemerintah, sedangkan khalifah sendiri hanya sebagai lambing.
- Membentuk Diwanul Kitaabah (Sekretaris Negara) yang tugasnya menjalankan tata usaha Negara.
- Membentuk Nidhamul Idary al-Markazy yaitu sentralisasi wilayah dengan cara wilayah jajahan dibagi dalam beberapa propinsi yang dinamakan Imaarat, dengan gubernurnya yang bergelar Amir atau Hakim. Kepala daerah hanya diberikan hak otonomi terbatas; yang mendapat otonomi penuh adalah “al-Qura” atau desa dengan kepala desa yang bergelar Syaikh al-Qariyah. Hal ini jelas untuk mebatasi kewenangan kepala daerah agar tidak menyusun pasukan untuk melawan Baghdad.
- Membentuk Amirul Umara yaitu panglima besar angkatan perang Islam untuk menggantikan posisi khalifah dalam keadaan darurat.
- Memperluas fungsi Baitul Maal, dengan cara membentuk tiga dewan; Diwanul Khazaanah untuk mengurusi keuangan Negara, Diwanul al-Azra’u untuk mengurusi kekayaan Negara dan Diwan Khazaainus Sila, untuk mengurus perlengkapan angkatan perang.
- Menetapkan tanda kebesaran seperti al-Burdah yaitu pakaian kebesaran yang berasal dari Rasul, al-Khatim yaitu cincin stempel dan al-Qadlib semacam pedang, dan kehormatan. Al-Khuthbah, pembacaan doa bagi khalifah dalam khutbah Jum’at, as-Sikkah, pencantuman nama khalifah atas mata uang dan Ath-Thiraz, lambing khalifah yang harus dipakai oleh tentara dan pegawai pemerintah untuk khalifah.
- Membentuk organisasi kehakiman, Qiwan Qadlil Qudha (Mahkamah Agung), dan al-Sutrah al-Qadlaiyah (jabatan kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim propinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi), serta Qudlah al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri). 17
- Bidang Ekonomi
Pada masa awal pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi cukup
stabil, devisa Negara penuh melimpah. Khalifah al-Mansur adalah tokoh
ekonom Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam
bidang ekonomi dan keuangan Negara (Baitul Maal).
Di sektor pertanian, pemerintah membangun sistem irigasi dan kanal di
sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai teluk Persia, sehingga
tidak ada lagi daerah pertanian yang tidak terjangkau irigasi. Kemudian
kota Baghdad di sampaing sebagai kota politik agama, dan kebudayaan,
juga merupakan kota perdagangan terbesar di dunia, sedangkan Damaskus
merupakan kota kedua. Sungai Tigris dan Eufrat menjadi kota transit
perdagangan antar wilayah-wilayah Timur seperti Persia, India, China,
dan nusantara dan wilayah Barat seperti Eropa dan Afrika Utara sebelum
ditemukan jalan laut menuju Timur melalui Tanjung Harapan di Afrika
Selatan. Selain itu, barang-barang kebutuhan pokok dan mewah dari
wilayah Timur diperdagangkan dengan barang-barang hasil dari wilayah
bagian Barat. Di kerajaan ini juga, sudah terdapat berbagai macam
industri seperti kain Linen di Mesir, Sutra di Suriah dan Irak, Kertas
di Samarkand, serta hasil-hasil pertanian seperti Gandum dari Mesri dan
Kurma dari Irak.18
- Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam Ma’had. Lambaga ini dikenal ada dua tingkatan. Pertama, Maktab/Kuttab dan
masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, menghitung, menulis, anak-anak remaja belajar
dasar-dasar ilmu agama serta tempat penngajian dari ulama-ulama yang
merupakan kelompok-kelompok (Khalaqah), tempat berdiskusi dan Munazarah
dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga dilengkapi dengan ruangan
perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam disiplin ilmu.
Disamping itu, di masjid-masjid ini dilengkapi juga dnegan berbagai
macam fasilitas pendidikan penunjang lainnya. Kedua, bagi
pelajar yang ingin mendalami ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke
masjid-masjid atau bahkan ke rumah-rumah gurunya. Karena semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan, baik mengenai agama maupun umum maka
semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin tertampung di dalam ruang masjid.19 Maka pada perkembangan selanjutnya mulai di buka madrasah-madrasah yang di pelopori oleh Nizhamul Muluk.20 Lembaga
inilah yang kemudian yang berkembang pada masa Dinasti Abbasyiah.
Madrasah ini dapat di temukan di Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah,
Musail dan kota lainya mulai dari tingkat rendah, menengah, serta
meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
- Gerakan Penerjemah
Peleopor gerakan penerjemah pada awal pemerintahan Dinasti Abbasyiah
adalah khalifah al-Mansur yang juga membangun kota Baghdad. Dia
mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam seperti Nuwbhat,
Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk menerjemahkan karya-karya
berbahasa Persia dalam bidang Astronomi yang sangat berguna bagi kafilah
dengan baik dari darat maupun laut. Buku tentang ketatanegaraan dan
politik serta moral seperti kalila wa Dimma Sindhind dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, Manuskrip berbahasa Yunani seperti logika karya Aristoteles, Al-Magest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dan Gerase, Geometri
karya Euclid. Manuskrip lain yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani
Bizantium dan Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan
bahasa Syiria juga di terjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab
dipelopori oleh Hunayn Ibn Isyaq (w. 873 H) seorang penganut Nasrani
dari Syiria. Dia memeperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu
menerjemahkan kalimat, bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat
memahami isi naskah karena sturktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda
dengan sturktur kalimat dalam bahasa Arab.
Pada masa al-Ma’mun karena keinginan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan demikian pesat, dia membentuk tim penerjemah yang diketuai
langsung oleh Hunayn Ibn Isyaq sendiri, dibantu Ishaq anaknya dan
Hubaish keponakannya serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn Luqa, Jocabite
seorang Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus seorang Kristen Nestorian,
Ibn A’di, Yahya Ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan
naskah-naskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat
diperlukan seperti kedokteran. Keberhasilan penerjemahan juga didukung
oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam menyerab bahasa Asing dan kekayaan
kosakata bahasa Arab.21
- Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Istitusi ini adalah kelanjutan dari Jandishapur Academy
yang ada pada masa Sasania Persia. Namun, berbeda dari istitusi pada
masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk
raja, pada masa Abbasiyah intitusi ini diperluas kegunaannya. Pada masa
Harun ar-Rasyid intitusi ini bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah
Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, al-Ma’mun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah. Pada masa ini juga, Bait al-Hikmah
dipergunakan secara lebih modern yaitu sebagai tempat penyimpanan
buku-buku kuno yang di dapat dari Persia, Byzantium, bahkan Ethiopia dan
India. Selain itu Bait al-Hikmah berfungsi sebagai kegiatan
studi dan riset astronomi untuk meneliti perbintangan dan matematika. Di
institusi ini al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad Ibn Hawarizmi yang ahli
bidang al-Jabar dan Astronomi dan orang-orang Persia bahkan Direktur
perpusatakaan adalah seorang nasionalis Persia dan ahli Pahlewi Sahl Ibn
Harun.
- Bidang Keagamaan
Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu Tafsir bil al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi.
Tokoh tafsir terkenal seperti Ibn Jarir at-Tabary, Ibn Athiyah, Abu
Bakar Asam (Mu’tazilah), Abu Muslim Muhammad Ibn Bahr Isfahany
(Mu’tazilah), dll.
Dalam bidang Hadits, mulai dikenal ilmu pengklasifikasian Hadits secara sistematis dan kronologis seperti, Shahih, Dhaif, dan Madhu’. Bahkan juga sudah diketemukan kritik Sanad, dan Matan, sehingga terlihat Jarrah dan Takdil Rawi
yang meriwayatkan Hadits tersebut. Ahli Hadits terkenal di zaman ini
adalah; Imam Bukhari (w 256 H), Imam Muslim (w 261 H), Ibn Majah (w 273
H), Abu Daud (w 275 H), at-Tirmidzi, An-Nasa’I (303 H), dll.
Dalam bidang Fiqh, mucul kitab Majmu’ al-Fiqh karya Zaid Ibn
Ali (w 740) yang berisi tentang Fiqh Syi’ah Zaidiyah. Kemudian lahir
Fuqaha seperti Imam Hanafi (w 767 ), seorang hakim agung dan pendiri
Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (w 795 M), Muhammad Ibn Idris as-Syafe’i
(820 M), Imam Ahmad Ibn Hambal ( w 855 M).
Dalam bidang filsafat dan Ilmu kalam, lahir para filosof Islam
terkemuka seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad
al-Farabi, Ibn Barjah, Ibn Tufail, dan Imam Ghazali. Dan ilmu Kalam,
Mu’tazilah pernah menjadi Madzhab utama pada masa Harun ar-Radyid dan
al-Ma’mun. diantara ahli ilmu Kalam adalah Washil Ibn Atha’, Abu Huzail
al-Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, dan Iman Ghazali.
Ilmu Lughah juga berkembang dengan pesat karena bahasa Arab
semakin dewasa dan memerlukan suatu ilmu bahsa yang menyeluruh. Ilmu
bahasa yang dimaksud adalah Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi, Arudh, dan Insya. Ulama Lughah yang terkenal adalah Sibawaih (w 183 H), Mu’az al-Harra (w 187 H), Ali Ibn Hamzah al-Kisai (w 208 H), dll.
Ilmu Tasawuf berkembang pesat terutama pada masa Abbasiyah II dan
seterusnya. Diantara tokoh tasawuf yang terkenal adalah al-Qusayiri (w
456 H), Syahabuddin (w. 632 H), Imam al-Ghazali (w. 502 H), dan
lain-lain.22
- Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Adapun kemajuan yang dicapai umat Islam pada masa Dinasti Abbasiyah
dalam bidang ilmu Pengetahuan, sains dan teknologi adalah a). Astronomi,
Muhammad Ibn Ibrahim al-Farazi (w. 777 M), ia adalah astronom muslim
pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian
bintang. Disamping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti
Ali Ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, al-Khayyam dan
al-Tusi. b). Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal
adalah Ali Ibn Rabban al-Tabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah
tahun 850 M, tokoh lainnya adalah ak-razi, al-Farabi, dan Ibn Sina. c).
Ilmu Kimia, bapak kimia Islam adalah Jabir Ibn Hayyan (w. 815 M),
al-Razi, dan al-Tuqrai yang hidp pada abad ke 12 M. d). Sejarah dan
Geografi, pada masa ini sejarawan ternama abad ke 3 H adalah Ahmad Ibn
al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn Jarir al-Tabari. Kemudian ahli
Bumi yang termasyur adalah Ibn Khurdazabah (w. 913 H).23
Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Ada dua faktor yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Abbasiyah, yaitu faktor Internal (dari dalam sendiri), dan faktor Eksternal (dari luar). Faktor internal diantaranya. Pertama,
perebutan kekuasaan antar keluarga merupakan pemicu awal yang akhirnya
berimplikasi panjang terhadap kehidupan khalifah selanjutnya, terutama
suksesi setelah Harun ar-Rasyid. Perebutan antara al-Amien dan al-Ma’mun
yang memicu perang sipil besar yang pada akhirnya melemahkan kekuatan
militer Abbasiyah dan control terhadap provinsi-provinsi di bawah
kekuasaan Abbasiyah.24
Selanjutnya dari perebutan tersebut melahirkan orang-orang yang tidak
kompeten, ditambah lagi terjadi pemisahan antrara agama dan politik.
Akibatnya terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan cara hidup dalam
kemewahan dan pesta pora di Istana karena agama tidak lagi menjadi
pengawas. Seperti al-Mutawakkil memiliki 4000 orang selir semuanya
pernah tidur seranjang dengan dia. Khalifah al-Mutazz (Khalifah ke-13)
menggunakan pelana emas dan baju berhiaskan emas.
Kemudian menurut Abu A’la al-Maududi ketika konsep khalifah
digantikan dengan sistem kerajaan maka tiada ada lagi keahlian
kepemimpinan yang mencakup segalanya baik dalam politik maupun agama.
Sehingga keberhasilan raja-raja tidak mendapatkan penghargaan dan
kewibawaan moral di hati rakyat, walaupun mereka mampu menaklukan rakyat
dengan kekuasaan dan kekuatan, dan mengeksploitasi mereka demi tujuan
politisnya.25Disinilah
secara filosofis kelemahan mendasar dari sistem kerajaan. Selain itu
secara Sosiologis system Kerajaan akan menciptakan paradigma berfikir
peodalistik anti kritik, sehingga mudah sekali terjadi
penyimpangan-penyimpangan di dalamnya. Kedua, perpecahan di
bidang akidah dan di bidang madzhab, yang masing-masing kelompok saling
mengklaim paling benar, sehingga memunculkan sikap fanatisme berlebihan.
Bahkan khalifah al-Ma’mun melancarakan gerakan pembasmian kepada
orang-orang yang tidak mau tunduk kepada madzhab Mu’tazilah. Hal
tersebut kemudian diikuti kembali oleh al-Mutawakkil yang membasmi
terhadap golongan Mu’tazilah karena tidak mau tunduk kepada Ahlu Hadits.26 Terakhir, penguasaan Baitul Maal yang berlebihan akibatnya muncul justifikasi bahwa Baitul Maal
adalah milik penguasa, bukan milik umat. Sehingga tidak seorang pun
berhak meminta pertanggungjawaban mengenai dari mana uang itu berasal
dan lari kemana uang itu kemudian. Hal ini memancing reaksi negative
dari masyarakat, dan memunculkan rasa ketidakpuasan yang berujung kepada
pemberontakan.
Masalah ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh Rasulullah Saw lewat sabdanya :
“Semakin dekat seseorang pada kursi kekuasaan, semakin jauhlah dia
dari Tuhan; semakin banyak jumlah pengikut yang dimilikinya, semakin
jahatlah ia; semakin banyak kekayaan yang dipunyainya, semakin ketat
pulalah perhitungannya.27
Namun sangat disayangkan para penguasa Dinasti Abbasiyah semuanya
terbuai dan lupa bahkan kepada Allah sendiri, hingga keruntuhan mereka.
Kemudian faktor eksternal yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Abbasiyah adalah; Pertama,
pemberontakan terus menerus yang dilakukan oleh kelompok Khawarij,
Syi’ah, Murjiah, Ahlusunnah, dan bekas pendukung Dinasti Umayyah yang
berpusat di Syiria menyebabkan penguasa Abbasiyah harus selalu membeli
perwira pasukan dari Turki dan Persia. Konsekuensinya meningkat terus
ketergantungan pada tentara bayaran dan ini pada gilirannya menguras kas
Negara secara financial.28Kedua,
memberikan kebaikan berlebihan kepada orang-orang Persia, dan Turki,
berakibat mereka dapat menciptakan kerajaan sendiri seperti Thahiriyah
di Khurasan, Shatariyah di Fars, Samaniyah di Ttansxania, Sajiyyah di
Azerbaijan, Buwaihah di Baghdad semuanya dari bangsa Persia. Sedangkan
kerajaan yang didirikan oleh orang-orang Turki adalah Thuluniyah di
Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan, Ghaznawiyah di Afghanistan.29dan
dilanjutkan muculnya Dinasti-Dinasti merdeka Umayyah di Andalusia,
Fathimiyah di Afrika Utara, Idrisiyah di Maroko, Rustamiyah, Aghlabiyah,
Ziriyyah, Hammadiyah di Jazirah dan Syiria, al-Murabitun, al-Muwahidun
di Afrika Utara,Marwaniyah di Diyarbakar, dll. Ketiga, serangan
bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulaqu Khan. Baghdad di bumihanguskan
dan diratakan dengan tanah. Khalifah al-Musta’sim dan keluarganya di
bunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah di bakar dan
dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut
menjadi hitam kelam karena lunturan tinta dari buku-buku itu.30
Analisa
Dari proposisi di atas dapat kita analisa bahwa suksesnya revolusi
Abbasiyah tidak terlepas dari peran serta kelompok-kelompok yang sudah
menyempal terlebih dahulu dari Dinasti Umayyah, karena merasa selalu
terdzalimi terhadap pola-pola kepemimpinan yang ditonjolkan oleh
khalifah-khalifah Umayyah. Rasa ketidakpuasan ini secara psikologi
menciptakan “sidrom traumatik” terutama bagi kelompok Syi’ah dn Khawarij
yang sejak lengsernya Ali Ibn Abi Thalib selalu di buru dan diasingkan.
Maka tidak mengherankan jika pada awal-awal pemerintahannya Abu Abbas
as-Saffa menciptakan sebuah kebijakan politik “pembumihangusan” etnis
Umayyah dari muka bumi. Disamping untuk balas dendam atas kebiadaban
Dinasti Umayyah juga rasa terima kasih atas bantuan dari
kelompok-kelompok oposisi tersebut, sehingga diharapkan mereka
terpuaskan dan akan loyal dalam mendukung kekuasaan Dinasti Abbasiyah di
masa mendatang. Dan hal yang tidak bisa dilepaskan mudahnya mendapatkan
dukungan dari kelompok-kelompok tersebut adalah janji penegakan syariat
Islam dan terciptanya kehidupan tanpa ketakutan dan kekerasan yang
tidak pernah mereka dapatkan pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Pasca As-Saffa dan naiknya Ja’far al-Mansur rupanya menjadi awal
bangkitnya kembali “solidaritas keluarga”, ini terlihat dari
penyingkiran kelompok oposisi yang notabene sekutu utama dalam
penumbangan Dinasti Umayyah dan pergantian kekuasaan diserahkan kepada
Putra Mahkota agar kekuasaan hanya berputar pada keluarga Bani
Abbasiyah. Kebijakan ini jelas mencerminkan sifat haus kekuasaan dan
lunturnya nilai-nilai demokrasi akibatnya hilang prinsip persamaan,
kebersamaan, dan mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi seperti yang pernah dipraktekan oleh Rasulullah.31 Padahal semua itu adalah tugas utama seorang khalifah.
Sifat seperti ini bukan merupakan “barang baru” dalam dunia Islam.
Khalifah Utsman Ibn Affan adalah “The Best Teacher” yang telah
mengajarkan bagaimana kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang.
Dalam pada itu, pengaruh kerajaan Persia yang monarkhi absolute juga
mendukung terciptanya iklim seperti itu, ini terlihat dari pindahnya Ibu
kota dari Damaskus ke Baghdad, lalu dilanjutkan dengan mencontoh secara
besar-besaran model-model kekuasaan dan administrasi Negara Persia.32
Namun bagaimana pun jeleknya Dinasti Abbasiyah secara politik, mereka
telah berhasil menorehkan tinta emas dalam peradaban Islam, terutama
keberhasilan mereka dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan cara menerjemahkan secara besar-besaran kitab-kitab klasik
peninggalan Yunani, Persia, India, China ke dalam dunia Islam. Sehingga
wajar banyak ilmuwan berpendapat bahwa masa ini adalah masa kejayaan
Islam yang paling gemilang atau dalam bahasa Ashar Ali zaman Islam
Mahayana.33dan
kejayaan seperti ini sulit kita jumpai di Negara-negara yang
mengatasnamakan Islam. Disamping itu Dinasti ini menunjukkan sifat
keislamannya yang lebih menonjol daripada sifat kearabannya. Dua orang
di antara khalifah-khalifahnya yang menjadi penunjang utama dalam
menggulingkan dinasti Bani Umayyah dan menegakkan dinasti Bani Abbasiyah
adalah orang-orang Persia. Oleh karena itu tidaklah aneh kalau
kepada-kepala dinasti ini berusaha memelihara keseimbangan yang
seadil-adilnya antara unsur Arab dan unsur Persia di dalamnya. Tentu
berbeda dengan Dinasti Bani Umayyah yang lebih kuat unsur Arabnya
sehingga mengkotak-kotakkan masyarakatnya dalam Arab dan non Arab.
Perpecahan baru terjadi pasca meninggalnya Harun ar-Rasyid, ketika kedua
putranya berperang berebut kekuasaan. Yang satu hendak memperkokoh
kedudukan orang-orang Arab. Sedangkan yang lainnya bertekad hendak
memperkokoh kedudukan orang-orang keturunan Persia.34
Runtuhnya sebuah Dinasti-Dinasti Islam pasti berawal dari pola hidup
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ini menandakan bahwa Dinasti
Abbasiyah tidak pernah mau belajar dari sejarah kehancuran Bani Umayyah.
Disamping itu, mempercayakan keamanan berlebihan kepada suatu kelompok,
jelas akan berakibat pada lunturnya nilai persatuan di antara
masyarakat itu sendiri.
Pada masa sekarang kebijakan seperti ini diikuti oleh kerajaan Saudi
Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab yang mempercayakan keamanannya kepada
pasukan Amerika dan balasannya Amerika berhak mengeksploitasi minyak dan
mendirikan pangkalan militer di Negara-negara tersebut. Padahal ini
adalah bagian dari penjajahan sistemik dan pembodohan sturktural yang
nantinya akan melemahkan sendi-sendi pemerintahan dan nasionalisme
kebangsaan masyarakatnya.
Selanjutnya kondisi Baghdad sekarang sungguh sangat memperihatinkan
setiap hari kita melihat konflik-konflik berdarah. Perang memang tidak
pernah menyelesaikan masalah. Bahkan justru melahirkan masalah baru,
tidak hanya dari aspek politik, kemanusiaan, sosial kemasyrakatan. Oleh
karena itu, sudah saatnya umat Islam bersatu dalam satu kata muslim yang satu dengan muslim yang lain adalah saudara, jika salah satu sakit maka yang lain juga sakit.
Kesimpulan
Dari deksipsi di atas dapat disimpulkan bahwa Dinasti Ababsiyah
merupakan masa kejayaan umat Islam, berkuasa mulai Khalifah Abu Abbas
as-Saffa hingga al-Musta’shim sebagai khalifah terakhir. Rentan waktu
yang lama ini telah menghasilkan banyak kemajuan dalam peradaban Islam,
terutama sejak menerjemahkan kitab-kitab klasik dari bangsa Yunani,
Persia, India, baik dalam bidang politik pemerintahan, ekonomi, agama di
mana lahir para pemikir-pemikir Islam baik dari bidang Filsafat, Kalam,
Fiqh, maupun Tasawuf, dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Selain itu lahir
pula pakar-pakar ilmu astronomi, geografi, sejarah, dan lain sebagainya,
yang nantinya sangat berperan besar terhadap munculnya renaissance
di dunia Eropa. Namun dibalik kemajuan itu, Dinasti Abbasiyah
menyisahkan noda bagi peradaban Islam itu sendiri, terutama
pembantaian-pembantai manusia setiap pergantian kekuasaan. Dan hal yang
paling penting sekarang dapatkah kita merefleksikan kemajuan dan
kemunduran Dinasti Bani Abbasyiah dalam kehidupan kontemporer, sehingga
menjadi sebuah spirit perubahan radikal. Wallahu a’lam bi Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar S., Citra Islam (Tinjauan Sejarah dan Sosiologi), Jakarta: Erlangga, 1992, cet. I.
Al- Wa, Muhamed, Sistem Politik dan Pemerintahan Islam, Surabaya ; bina ilmu, 1983, cet. 1.
Al-Afifi, Abdul Hakim, 1000 Peristiwa dalam Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), cet. I
Al-Maududi, Abul A’la, Khilafah dan Kerajaan (Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam), Bandung: Mizan, 1984, cet. I.
Amien, Ahmad, Islam dari Masa ke Masa, Bandung: Rosda, 1987, cet. I.
As-Salus, Ali, Imamah & Khilafah, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, cet. I
Bosworth, C. E. , Dinasti-Dinasti Islam, Bandung: Mizan.
Budiahardjo, Mariam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1999.
Engineer, Ashar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, cet. IV.
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Hasjmy, A. , Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, cet. I.
Ismail, Faisal, Islam (Idealita Ilahiyah dan Realitas Insaniyah), Yogyakarta: Tiara Wacana Group, 1999, cet. I.
Lapidus, Ira, Sejarah Sosialt Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 193.
Maryam, Siti, dkk (ed), Sejarah Peradaban Islam, (Dari Masa Klasik Hingga Modern), (Yogyakarta: Lesfi, 2004), cet. I.
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Nasr, Sayyed Hosein, Relegion, History, and Civilization, New York: Herpercollins Publishers, 2002.
Naufal, A. Raziq, Umat Islam dan Sains Modern, Bandung: Husaeni, 1978.
Salim, Abdul Mu’in, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, cet. I
Shiddiqi, Nourozzaman, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Putaka Pelajar, 1995.
Sou’yb, Joesoef, Sejarah Dinasti Abbasiyah II, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, cet. I.
Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra, 1997.
Thohir, Ajib, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm 44-45
Tohir, Muhammad, Sejarah Islam (dari Andalusia sampai Indus), Jakarta: Dunia Pusataka Jaya, 1981
Umari, Akram Dhiyauddin, Masayrakat Madani (Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi), Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. I
Watt, William M. , Kejayaan Islam; Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990, cet. I.
Zaidan, Jurji, History of Islamic Civilization, New Delhi: Bhavan, 1978.
Zuhairi, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, cet. V
DONASI VIA PAYPAL
Bantu berikan donasi jika artikelnya dirasa bermanfaat. Donasi akan digunakan untuk memperpanjang domain https://4rrwani.blogspot.com/. Terima kasih.
Newer Posts
Newer Posts
Older Posts
Older Posts
Comments