Hukum Syar’u Man Qoblana
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Ushul
Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat
berguna untuk membimbimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’
secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh
dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya
bertentangan dengan dalil lainnya.[[1]] Para
ulama’ ushul telah menetapkan sejumlah kaidah-kaidah ushul yang wajib kita
ketahui dan diperhatikan bagi mereka yang hendak istinbath hukum, dan juga
memperhatikan hukum dari nash-nash, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits serta
illat hukumnya dari sesuatu masalah yang ada.
Telah diketahui bahwa syar’u
man qablana adalah salah satu dari sekian banyak metode istinbat
(penggalian) hukum Islam, walaupun tampak adanya warna-warna yang
mengindikasikan syar’u man qablana hanya sebagai penguat
teks-teks keagamaan dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk menggali hukum,
namun seringkali ia tetap dijadikan sebagai metode. Berkaitan dengan hal
tersebut, para ahli ushul al-fiqh menggunakan syar’u man qablana
untuk membedakan antara syari’at atau hukum sebelum Nabi Muhammad menjadi
seorang rasul dan hukum di saat ia diutus sebagai rasul. Namun demikian,
tampaknya para ahli uhsul al-fiqh memiliki perspektif yang berbeda dalam
memandang syar’u man qablana.Perbedaan tersebut tampak ketika mereka
membahas keterikatan Nabi Muhammad setelah menjadi Nabi dan pengikutnya
terhadap syari’at-syari’at sebelumnya.
Sumber dan
dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang
masih dipeselisihkan oleh para ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al
-Quran dan Sunnah, serta Ijma’ dan Qiyas (aplikasi keduanya tetap berpedoman
pada Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi
perselisihan antar ulama yaitu: Marsalah Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah,
‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi, dan Syar’u Man Qablana
Sudah
maklum di hadapan kita semua bahwa Muhammad Bin Abdullah adalah sosok figur
yang Ma’shum(terjaga dari perbuatan dosa sebelum dan sesudah
terutus), karena beliau adalah seorang Nabi, Nabi terakhir yang diutus kepada
semua umat manusia dilapisan dunia ini. Beliau juga sosok yang rajin dan taat
dalam beribadah. Beliau juga tak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya,
lingkungan orang-orang Jahiliyah yang suka minuman keras, dan main perempuan.
Namun terdapat keganjalan dibenak kita terkait dengan peribadatan beliau.
Benarkah beliau mengikuti syariat Nabi sebelumnya, sebelum beliau diutus? Kalau
benar, syariat Nabi siapa yang diikuti oleh beliau?.
Maka dalam
kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang syar’u man qoblana
(syariat-syariat sebelum kita), berkaitan dengan apa saja syariat tersebut,
bagaimana hukumnya untuk saat ini dan apa yang mendasarinya, semoga makalah
kami yang ringkas ini dapat bermanfaat bagi kita semua sehingga nantinya dapat
menambah sedikit keilmuan kita mengenai syariat nabi-nabi sebelum kita
B. Rumusan
Masalah
- Apa yang dimaksud Syar’u man qoblana?
- Bagaimana bentuk dan hukum yang berlaku bagi syar’u man qoblana?
- Bagaimana kita harus menyikapi hal tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Dan Dasar
Hukum Syar’u Man Qoblana
Ada juga yang
mendefinisikan Syariat yang Allah turunkan pada tiap Nabinya untuk didakwahkan
pada masing-masing umatnya yang dibenarkan dengan oleh Al-Qur’an dan Sunnah,
namun kesemuanya berujung bahwa Syar’u Man Qablana adalah syariat yang ada sebelum nabi muhammad S.A.W.
Pada asas
syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang
sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW.
Diantara
asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang
hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan
sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang
berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada
itu ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda
pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa, hukuman
qishash dan sebagainya.
B. Ibadah Nabi
Muhammad Sebelum Diutus
Terkait dengan ketika
nabi belum mendapat kitab Al-Quran, beliau beribadah mengikut syari’at
siapa, maka ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa beliau sebelum
diutus mengikuti mengikuti syari’at nabi sebelumnya, yaitu sebagian kalangan
Malikiyah, penetap ini masih berbeda juga dalam menentukan syari’at yang
diikuti beliau tersebut.[[2]]
o
Syari’at Nabi Adam AS sebagai syariat pertama.
o
Syari’at Nabi Nuh AS
o
Syari’at Nabi Ibrahim AS
o
Syari’at Nabi Musa AS.
o
Syari’at Nabi Isa AS, dengan alasan bahwa Nabi Isa
adalah nabi yang jarak terutusnya paling dekat dengan Nabi Muhammad.
Dan dari
sekian pendapat di atas Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati
kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim
AS, ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti
syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah,
Ibnu Hajib dan al-Baidhowi. Dan ada sebagian lain yang tidak mau
komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka
berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti
syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy.[[3]] mengatakan bahwa ulama Mutakallimin telah
sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak
mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara
akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi
sebelumnya namun mustahil secara kenyataan.
C. Hakikat Syar’u man
Qablana
Istilah syar’u man
qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syari’at-syari’at
sebelum Islam sebagai agama ketika dilahirkan. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa
hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam
memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam).
Khallaf [[4]]menyebutkan bahwa sya’u man qablana adalah berhubungan dengan “mâ
syara‘aha Allah liman sabaqana min al-umam” (syari’at yang telah
diturunkan Tuhan kepada orang-orang yang telah mendahului kita (hukum-hukum
para Nabi terdahulu).
Berkaitan dengan posisi
syar’u man qablana, Zuhaili menyatakan bahwa dengan diutusnya Muhammad
sebagai nabi pada tahun 611 Masehi, maka sejak itu pula bahwa syari’at Nabi
Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Kendati
demikian, Zuhaili juga mengatakan bahwa keadaan seperti itu masih menimbulkan
berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, khususnya
berkaitan dengan keterikatan Nabi Muhammad secara pribadi dengan syari’at
sebelumnya dan sesudah ia menjadi Nabi, termasuk pula di dalamnya
pengikut-pengikut Nabi Muhammad sampai sekarang.[[5]]
D. Macam-Macam
Syar'u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian.
a. pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak
termasuk syariat kita.
b. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah.
Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
1. Dinasakh syariat
kita(syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua
ulama.
2. Dianggap syariat kita
melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas
kesepakatan ulama.
3. Tidak ada penegasan
dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita.
Pembagian ketiga inilah
yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini(Syar’u Man Qablana)
:
Ø
Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan
Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh
maka menjadi syariat bagi kita, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu
dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.
Ø
Asya’irah Mu’tazilah, Si’ahdan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie
mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat
kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali,
al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakanpara ulama’.
Ada empat dalil yang
dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum
kita adalah syariat kita :
1. Syariat umat sebelum
kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh,
karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman
Allah dalam surat al-An’am, ayat, 90;
y7Í´¯»s9'ré&tûïÏ%©!$#yydª!$#(ãNßg1yßgÎ6sù÷nÏtFø%$#3@è%HwöNä3è=t«ór&Ïmøn=tã#·ô_r&(÷bÎ)uqèdwÎ)3tø.ÏúüÏJn=»yèù=Ï9ÇÒÉÈ
Artinya :mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka
ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu
dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah
peringatan untuk seluruh ummat.
Disebutkan pula dalamsuratal-Nahl, ayat, 123
§NèO!$uZøym÷rr&y7øs9Î)Èbr&ôìÎ7¨?$#s'©#ÏBzOÏdºtö/Î)$ZÿÏZym($tBurtb%x.z`ÏBtûüÅ2Îô³ßJø9$#
Terjemahnya : kemudian
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah Dia Termasuk
orang-
orang yang mempersekutukan tuhan.
2. kewajiban menqadho’i
shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi”Barangsiapa yang tertidur atau lupa
melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan
ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara
berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena
itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya
niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3. Ayat kelima dalam surat
al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat
tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.
4. Nabi itu senang untuk
mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan
keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat dalil yang
juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai
syariat kita, yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz
Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil
ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai
al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban
permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
2. Firman Allah yang
menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat,
baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
3. Seandainya Nabi,
umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib
mempelajari syariat tersebut.
4. Syariat terdahulu
adalah khusus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum
yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.
Sesuai
dengan ayat di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW
dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
a. Syari'at
yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi aI-Qur'an dan
Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula
bagi umat Nabi Muhammad SAW.
b. Syari'at
yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak
berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As.
Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu
c. Syari'at
yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan
Hadits menerangkannya kepada kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa
E. Kontribusi Syar’u
man Qablana di Masa Identifikasi Hukum Islam
Sejak syar’u man
qablana diangkat ke permukaan untuk selanjutnya dijadikan sebagai metode,
maka sebagai sebuah pembatas (takhsis) sekaligus nasikh terhadap
syari’at-syari’at terdahulu kontribusi syar’u man qablana bukan
merupakan sebuah kontribusi yang dapat dipandangsebelahmata.
Justrudenganadanyametodeistinbatsepertiini, umat Islam, terutama pada masa
pengidentifikasian hukum Islam masa itu bahkan masyarakat muslim sekarang
memperoleh kepastian hukum dengan cara mengindentifikasi syari’at-syari’at yang
dibatalkan dan syari’at-syari’at yang masih berlaku.
sebagaimana disebutkan
dalam Yahya yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Musa cara menebus dosa
(bertobat) atas kesalahan yang telah dilakukan adalah dengan bunuh
diri.[[6]]
Para ahli ushul
al-fiqh dapat menentukan dengan mudah bahwasyar’u man qablana
semacam itu sudah tidak berlaku lagi karena telah dibatalkan atau diganti (mansukh)
oleh ayat Al-qur’an sendiri yang nota bene merupakan syari’at Nabi
Muhammad.
Selain itu, terdapat
pula kontribusi Syar’u man Qablana dalam bentuk lain yang tampak
berlawanan dengan bentuk di atas. Pada bentuk itu, syari’at Islam membatalkan
syari’at terdahulu, namun pada bentuk kedua ini justru Nabi Muhammad dan
umatnya mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh umat terdahulu.
Di antara warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. al-baqoroh ayat 183
Sedangkan Syairazi
mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak semakin berkembang dengan adanya 3
kelompok yang berkiprah memberikan pendapat yakni:
1. bukan sebagai syari’at
umat Islam,
2. sebagai syari’at Islam,
kecuali adanya dalil yang membatalkannya,
3. semua syari’at
terdahulu, baik syari’at Ibrahim, syari’at Musa (kecuali yang telah di-naskh
oleh syari’at Isa), dan syari’at Isa sendiri adalah syari’at Islam.[[7]]
Terhadap perbedaan
pendapat ini, Asnawi menjelaskan bahwa dalam persoalan tersebut telah ada
kesepakatan mayoritas ahli ushul al-fiqh, termasuk di dalam dalamnya
Fakhruddin ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Baidawi, dan sebagian ulama Syafi’iyyah
yang menyatakan bahwa syari’at umat terdahulu yang tidak ada kepastian untuk
umat Muhammad, tidak dipandang sebagai syari’at Islam. Hal yang senada juga
terdapat dalam Khallaf (1978: 94) yang mengatakan bahwa syari’at Islam me-naskh
syari’at terdahulu, kecuali adanya penegasan bahwa syari’at tersebut berlaku
juga bagi umat Islam. Pendapat yang serupa juga dapat ditemukan dalam Zuhaili
dengan menambahkan bahwa sebagian ahli ushul al-fiqh mazhab Maliki dan
mayoritas ulama ilmu kalam menyatakan penolakannya terhadap syari’at tersebut.
Selain itu, Khallaf
juga menceritakan bahwa mayoritas ahli ushul al-fiqh mazhab Hanafi,
sebagian ahli ushul al-fiqh mazhab Maliki dan Syafi’i, berpendapat bahwa
syari’at yang demikian itu diakui dan termasuk dalam syari’at Islam serta
kewajiban umat Islam untuk mengikuti dan mengimplementasikan syari’at tersebut
selama tidak adanya dalil normatif yang secara jelas me-nasakh-nya.
Karena, demikian diceritakan Khallaf, syari’at yang diperdebatkan tersebut
adalah hukum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para rasul-Nya dan
Muhammad juga termasuk dalam perintah tersebut. Selain itu, salah satu alasan
Alqur’an itu diwahyukan adalah untuk membenarkan adanya kitab-kitab yang
diturunkan pada umat sebelumnya, seperti Taurat dan Injil. Oleh karena itu
apabila tidak ada ketentuan Alqur’an yang me-nasakh syari’at terdahulu,
berarti ia diakui di dalam syari’at Islam.
F. Eksistensi Syar’u
Man Qablana dalam Kajian Hukum Islam Sekarang
Penentuan posisi dan
eksistensi syar'u man qablana di masa sekarang dinilai sangat penting.
Selain untuk mempertahankan kelestarian sebuah metode, juga agar hukum Islam
akan dapat berdialog dengan segala perubahan zaman dan peradaban. Mewujudkan
cita-cita tersebut tentunya tidak lepas dari pemahaman maqasid al-syari'ah (upaya
yang dilakukan untuk memahami tujuan dan maksud Tuhan dan Nabi dalam menetapkan
hukum). Adanya pemahaman terhadap maqasid al-syari'ah tentunya untuk
mewujudkan kemaslahatan baik di dunia atau pun di akhirat. Bakri mengatakan
bahwa kebaikan antara di dunia dan di akhirat tidak berbeda, bahkan dapat
berjalan secara bersamaan.
Kebaikan yang dimaksud adalah, harus diorientasikan
pada ruang lingkup kemaslahatan atau kebaikan yang bersifat dharûriyyah
(kepentingan esensial/kebutuhan primer manusia), hâjiyyah (kepentingan
sekunder yang diperlukan untuk menghindari kesulitan dan apabila kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi, maka tidak sampai merusak kehidupan manusia,
karena ia bersifat rukhsah), dan tahsîniyyah (kepentingan
penunjang yang hanya mengandung kemaslahatan dalam meningkatkan martabat
seseorang dalam masyarakat yang apabila kepentingan ini tidak terpenuhi, tidak
akan mempersulit dan merusak kehidupan manusia). Kendati pun adanya kepentingan
berkelas seperti di atas, semua itu dalam rangka memelihara agama, akal, jiwa,
keturunan dan harta.
Syar'u man qablana juga tidak terlepas dari maqasid al-syari'ah, karena untuk
menentukan apakah konsep atau materi hukum yang ditetapkan bagi umat-umat
terdahulu dan juga hukum pada zaman Nabi tampak masih relevan atau tidak dengan
perkembangan zaman sekarang diperlukan adanya pemahaman terhadap maqasid
al-syari'ah. Dari sini dapat diharapkan syar’u man qablana dapat
membuktikan eksistensinya sebagai metode di antara metode-metode lain, karena
memang antara satu metode dengan metode lain dalam usul al-fiqh
terkadang senapas untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum.
Berkaitan dengan
masalah maqasid al-syari’ah, penting dicatat perdebatan mengenai qath’i dan
zhanni. Menurut Khallaf bahwa dalam Al-qur’an terdapat kategori qath’i
dan zhanny. Qath’i adalah suatu lafaz yang mengandung satu
interpretasi dan tidak terdapat kemungkinan makna lain selain interpretasi itu
sendiri. Sedangkan zhanny adalah kebalikan dari qath’i, yakni
lafaz dapat diinterpretasikan kepada berbagai macam interpretasi sesuai dengan
kaidah yang berlaku. Selain itu zhanny juga dapat direinterpretasi (takwil)
apabila diperlukan.[[8]]
Berdasarkan pandangan
para ahli usul al-fiqh sebagaiman dikemukakan di atas, dapat ditarik
suatu pemahaman bahwa semua itu adalah hasil konsentrasi nalar yang dilakukan
secara bersungguh-sungguh, yang tentunya kedua pandangan tersebut menginginkan
ditemukannya kebenaran.
Telah disebutkan di
atas bahwa pola tobat dan penyucian najis di zaman Nabi Musa berbeda dengan
zaman Nabi Muhammad. Terjadinya perbedaan syari'at ini disebabkan kurang
relevannya syari’at-syari’at para nabi terdahulu jika diterapkan pada zaman
Nabi Muhammad. Begitu juga di antara syari’at-syari’at yang berlaku pada masa
Nabi Muhammad ada yang kurang relevan lagi untuk dilaksanakan pada zaman
sekarang. Dengan demikian, syar’u man qablanâ pada masa Nabi Muhammad
adalah syari’at umat terdahulu, sedangkan syar’u man qablanâ bagi umat
Islam sekarang ini adalah syari’at yang berlaku pada masa Nabi Muhammad.
Syari’at yang berlaku sekarang disebut sebagai syar’un lanâ.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum
yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap
rasul, Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS sbelum mendapat kitab
al-Qur’an.
2. Hakikat syar’u man
qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at
terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam), syari’at Nabi Muhammad adalah
penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Syar’u Man Qablana ada tiga macam bentuknya, yang di nasakh,
yang di lanjutkan dan yang di biarkan saja. Ada beberapa pandangan dalam
memahami syar'u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis),
nasikhdan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan
keberlakuan syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah
dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang secara tegas
menyebutkan hal tersebut. Selain itu, ada juga ketentuan syar'u man qablana
yang ditulis kembali dalam Alqur’an tetapi tidak ditemukan ayat lain yang
memberlakukan atau membatalkannya. Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan
pandangan, ada yang memandang hal tersebut sebagai syari'at Islam ada pula yang
memandang sebaliknya.
3. Kini syar'u man
qablana akan lebih tepat jika dikontekstualisasikan dengan perkembangan
zaman sekarang, tentunya semuanya itu berdiri di atas kemaslahatan umat muslim
secara keseluruhan dan ditopang oleh pemahaman terhadap maqashid al-syari'ah
guna memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Aplikasi dari
kontekstualisasi syar'u man qablana adalah dengan cara memposisikan
kembali syar'u man qablana sebagai sebuah metode dengan teknik bahwa
syari'at-syari'at Nabi Muhammad dipandang sebagai syar'u man qablanabagi
umat Muslim yang hidup di zaman sekarang. Di antara syari'at-syari'at tersebut
ada yang masih berlaku, ada pula yang tidak berlaku. Upaya ini dilakukan tidak
dengan cara mengganti teks-teks normatif, melainkan hukum yang terkandung dalam
teks normatif tersebut dikontekstualisasikan dengan zaman sekarang
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Quran
dan Terjemahannya, Jakarta, DEPAG, 2007
2. Hanafie . A . 1993 . Ushul
Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma
3. Khallaf,Abdul Wahhab.
1978. Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo : Dar al-Qalam
4. Zuhaily, Wahbah. 2001. Ushûl
al-Fiqhal-Islâmy, Jilid 1
DONASI VIA PAYPAL
Bantu berikan donasi jika artikelnya dirasa bermanfaat. Donasi akan digunakan untuk memperpanjang domain https://4rrwani.blogspot.com/. Terima kasih.
Newer Posts
Newer Posts
Older Posts
Older Posts
1 comment