Perjuangan Bani Abbasiyah dan Runtuhnya Bani Umaiyah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Maju mundurnya peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat islam itu sendiri. Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan islam diantaranya Umayah dan Abbasiyah, Umayah dan Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, di antaranya memunculkan ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
Jatuhnya Daulat Bani Umayyah pada tahun 750 M dan bangkitnya Daulat Bani Abbasiyyah telah menarik perhatiaan banyak sejarahwan islam klasik. Para sejarawan melihat bahwa kejadian itu unik dan menarik, karena bukan saja merupakan pergantiana dinasti tetapi lebih dari itu adalah pergantiaan struktur sosial dan idiologi. Maka, banyak sejarahwan yang menilai bahwa kebangkitan daulat Bani Abbasiyyah merupakan suatu revolusi dalam arti kata yang sebenarnya.
Masa kekhalifahan bani abasiyah merupakan masa kejayaan umat islam sepanjang sejarah. Pada masa itu titik berat pemerintahan bukan lagi pada perluasan wilayah yang banyak melibatkan kekuasaan militer, akan tetapi pada peradapan dan kebudayaan. Dengan demikian, pada masa itu banyak muncul hasil karya yang menjadi pelopor dalam dunia pengetahuan modern. 

B.     Batasan Masalah
Mengingat luasnya materi yang berkenaan dengan Bani Abbaiyah, maka pada makalah ini kami hanya membahas sekitar:
1.      Perjuangan Bani Abbasiyah.
2.      Runtuhnya Bani Umaiyah

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui secara lebih rinci bagaimana perjuangan Islam pada pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah dan faktor-faktor penyebab runtuhnya Bani Umaiyah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Bani Abbasiyah
a.      Asal-usul Dinasti Bani Abbasiyah
Dengan tumbangnya daulah Bani Umayyah maka keberadaan Daulah Bani Abbasiyah mendapatkan tempat penerangan dalam masa kekhalifahan Islam saat itu, dinamakan daulat bani Abbasiah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abdullah Al-Safah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M.[1]
Sejarah peralihan kekuasaan dari Daulat Bani Umayyah kepada Daulat Bani Abbas bermula ketika Bani Hasyim menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka, karena mereka adalah keluarga nabi yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya telah ada ketika wafatnya Rosullalalh. Tetapi tuntutan itu baru mengkristal (mengeras) ketika Bani Umayyah naik tahta dengan mngalahkan Ali bin Abi Thalib. Bani Hasyim yang menuntut kepemimpinan Islam itu paling tidak dapat digolongkan menjadi dua golongan besar.
Pertama golongan ‘Alawi, keturunan Ali bin abi Thalib. Mereka ini dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: pertama keturunan dari Fatimah, dan yang kedua keturunan dariMuhammad bin Al-Hanafiyah.
kedua adalah golongan Abbasiyah (Bani Abbasiyah), keturunan Al-Abbas paman Nabi tersebut. Perbedaan dari kedua golongan tersebut, paling tidak golongan Abbasiyah lebih mementingkan kemampuan politik yang lebih besar daripada golongan ‘Alawi.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1.      Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
2.      Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
3.      Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
4.      Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal- hal tertentu yang merasa tidak puas dengan sistem yang ada .[2]

b.      Tokoh-tokoh pendiri Bani Abbasiyah
Beberapa tokoh yang berperan penting dalam proses berdirinya Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut.[3]
1.      Muhammad bin Ali
Muhammad bin Ali merupakan peletak dasar-dasar pendirian kekhalifahan Bani Abbasiyah. Ia memulai gerakan yang disebut dakwah , yaitu gerakan propaganda kepada umat Islam bahwa yang lebih berhak memegang jabatan kekhalifahan adalah kelompok Bani Abbasiyah. Gerakan ini berhasil menjaring pengikut-pengikut yang setia, terutama di wilayah khurasan.

2.   Abu Abbas as-Saffah bin Muhammad  
Ia meneruskan usaha ayahnya dalam gerakan dakwah. Setelah gerakan berhasil menumbang Khalifah Marwan (khalifah terakhir Bani Umayyah), ia dikukuhkan menjadi khalifah dan dianggap sebagai pendiri kekhalifahan Bani Abbasiyah. Akan tetapi, ia hanya memerintah dalam waktu yang relative pendek, yaitu empat tahun (750-754M).
3.      Abu Muslim al-Khurasani
Ia merupakan tokoh kunci dalam gerakan dakwah Bani Abbasiyah. Kelihaiannya dalam berpropaganda berhasil menarik banyak pengikut di daerah asalnya,Khurasan. Setelah kelompok Bani Abbaiyah cukup kuat, mereka mulai menyerang kekuatan Bani Umayyah di daerah tersebut dengan Abu Muslim al-khurasani sebagai panglimanya. Hal itu berakhir dengan tumbangnya Khalifah Marwan dari Bani Umayyah.

c.       Sistem Pergantian Kholifah
Sistem pemerintahan yang diterapkan bani Abbasiyah masih sama dengan pendahulunya, bani Umayyah dengan sistem kekuasaan absolutisme. Mereka mengangkat dan mengumumkan seorang atau dua orang putra mahkota atau saudaranya sendiri untuk terus mempertahankan kepemerintahan. Kebijakan menerapakan sistem seperti ini tentu saja menimbulkan kecemburuan dan kebencian diantara sesama keluarga. Sebagai contoh, tatkala al-Manshur naik tahta, dia mengumumkan Mahdi sebagai putra mahkota pertama dan menunjuk Isa ibn Musa, kemenakannya sebagai putra mahkota kedua. Saat itu juga al-Manshur mengasingkan Isa sama sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah pertama al-Shaffah.
Seluruh anggota keluarga Abbas dan pemimpin umat Islam mengangkat Abdullah al-Saffah  ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas sebagai khalifah mereka yang pertama walaupun masih ada Abu Ja’far (al-Manshur) yang nantinya akan menjadi khalifah yang kedua.
Kekhalifahan bani Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang dan pada periode pertama (750 – 848 M) tercatat kurang lebih 10 khalifah yang memimpin dengan silsilah keturunan sebagai berikut :
NO
NAMA
MASA BERKUASA
1
Saffah ibn Muhammad
(132 H/750 M)
2
Abu Ja’far al-Manshur ibn Muhammad
(136 H/754 M)
3
Mahdi ibn al-Manshur
(158 H/775 M)
4
Hadi ibn Mahdi
(169 H/785M)
5
Harun al-Rasyid ibn Mahdi
(170 H/786M)
6
Amin ibn Harun
(193 H/804 M)
7
Ma’mun ibn Harun
(198 H/813 M)
8
Mu’tashim ibn Harun
(218 H/833 M)
9
Watsiq ibn Mu’tashim
(227 H/842 M)
10
Mutawakkil ibn Mu’tashim
(232   H/848 M)

Adapun beberapa khalifah Bani Abbasiyah yang menonjol adalah sebagai berikut.
1.      Abu Ja’far al-Mansur
Abu Ja’far al-Mansur memerintah tahun 754-775 M. ia adalah khalifah yang memindahkan pusat pemerintahan dari al-Hasyimiyah, sebuah kota di dekat Kufah ke Bagdad, bekas ibu kota Persia pada tahun 762 M.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan oleh Shaffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada beberapa khalifah sesudahnya. Popularitas daulah Abbasiyah mencapai klimaks kesuksesan adalah pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid dan puteranya al-Ma’mun
Hal ini yang menjadi awal masuk masuknya pengaruh pengaruh Persia dalam pemerintahan Bani Abbasiyah. Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur juga membentuk  beberapa Lembaga, seperti Lembaga Protokol Negara, Lembaga Sekretaris Negara, dan Lembaga Kepolisian Negara. Menunjuk Muhammad bin Abdurahman sebagai Hakim Negara. Selain itu, Jabatan Pos yang sebelumnya hanya bertugas mengantar surat, fungsinya ditambah untuk menghimpun informasi dari daerah sehingga menghimpun informasi dari daerah sehingga memperlancar administrasi pemerintahan.
Di antara langkah-langkah yang diambil al-Manshur dalam menertibkan pemerintahannya antara lain :
1.      Mengangkat pejabat di lembaga ekskutif dan yudikatif.
2.      Mengangkat wazir (menteri) sebagai koordinator departemen. Dan wazir pertama yang diangkatnya adalah Khalid ibn Barmak berasal dari kota Balkh Persia
3.      Mengangkat sekretaris negara dan kepolisian negara dan membenahi angkatan bersenjata
4.      Memaksimalkan peranan kantor pos. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Dalam bidang militer, Khalifah Abu Ja’far al-Mansur berusaha memperluas wilayah kekuasaannya. Usaha-usaha itu adalah sebagai berikut:
1.      Menaklukan Kota Malatia, Coppadocia, dan Sisilia antara tahun 756-758 M.
2.      Berdamai dengan Khaisar Constantine V dari Byzantium, dengan kesediaan Kaisar Constantine V untuk membayar upeti antara tahun 758-765 M.
3.      Melawan Turki Khazar di Kaukasus.
4.      Melawan suku Daylami di Laut Kaspia.
5.      Melawan Turki di India.[4]

2.      Harun ar-Rasyid
Harun ar-Rasyid memerintah dari tahun 786-806 M. masa pemerintahan Harun ar-Rasyid merupakan puncak kejayaan bani Abbasiyah. Pada masa itu banyak didirikan fasilitas-fasilitas sosial, seperti rumah sakit, rumah farmasi, serta pemandian-pemandian umum. Jumlah dokter pada waktu itu mencapai 800 orang. Selain itu Harun ar-Rasyid juga memajukan sector pertanian dengan membangun saluran irigasi. Oleh karena itu masyarakatnya memiliki tingkat kemakmuran, kesejahteraan sosial, kesehatan, dan pendidikan yang tinggi.
Negara Islam menjadi Negara yang kuat dan tak tak tertandingi. Harun ar-Rasyid adalah seorang raja besar Islam di zaman itu dan hanya Karel Agung (742-814 M) di Eropa yang dapat menjadi bandingannya. Jasa dibidang ilmu pengetahuan dan pemikiran masih dapat dinikmati hingga sekarang.
3.      Ma’mun ibn Harun
Al-Ma’mun memerintah selama 20 tahun dari tahun 813-833 M. ia adalah seorang Khalifah yang sangat cinta ilmu. Ia menggalakan penerjemahan buku-buku asing, terutama dari Yunani. Untuk melakukan hal itu, ia menggaji penerjemah-penerjemah professional dari berbagai agama.
Khalifah al-Ma’mun juga membangun Bait al-Hikmah yang menjadi pusat penerjemahan dan perpustakaan. Dengan demikian, Bagdad berkembang menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
4.      Al-Mu’tashim
Al-Mu’tashim adalah khalifah berikutnya (833-842 M),memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,,keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Tentara dibina secara khusu menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian,kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.[5]

d.      Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara Masa Bani Abbasiyah
1.       Sistem Pemerintahan
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur :“Innamaa Anaa Sulthaanullah fii Ardlihii” (Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya). Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
1.      Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
2.      Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
3.      Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia .
4.      Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .
5.      Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat , kecuali pengakuan politik saja . Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah  

2.       Perkembangan Pemerintahan dan Politik Bani Abbasiyah
Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan itu berbeda–beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarakan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasa membagi masa pemerintahan bani Abbasiyah ke dalam lima periode, yaitu:[6]
1.      Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh    Persia pertama.
2.      Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3.      Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.      Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5.      Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Untuk mempertahankan diri dari berbagai kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan, maka para Khalifah dinasti Abbasiyah mengambil beberapa kebijaksanaan politik dalam negerinya, yaitu:
1.      Kebijaksanaan politik terhadap Bani Umayyah
Untuk menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari kalangan Bani Umayyah yang bermaksud mengambil kembali kekuasaan dari pemerintahan dinasti Abbasiyah, maka para khalifah Abbasiyah mengambil suatu tindakan terhadap para pendukung dan keluarga Bani Umayyah yang masih tersisa. Kebijaksanaan itu menyebabkan banyak diantara penduduk dan keluarga Bani Umayyah melarikan diri ke wilayah Andalusia, Afrika, dll. Di tempat pelarian itu mereka mendirikan pemerintahan baru sebagai tandingan kekuasaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
2.      Kebijaksanaan politik terhadap orang – orang Persia
Dalam rangka mempertahankan kekuatan politik pemerintahan dinasti dan pendukung Bani Umayyah, kelompok “Mawaly” (terutama orang – orang Persia) diberikan kesempatan diberbagai bidang pemerintahan. Kedudukan kaum Malawy ini mendapatkan posisi yang sangat istimewa dalam pemerintahan Bani Abbasiyah.
3.      Kebijaksanaan politik pemerintahan
Perkembangan politik pemerintahan pada masa Dinasti Abbasiyah adalah kemajuan yang dicapai melalui pembentukan beberapa lembaga pemerintahan yang baru, antara lain:[7]
A.    Pengangkatan wazir
seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat. Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
a.       Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah.
b.      Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180). atau menteri sebagai pembantu utama khalifah dalam melancarkan roda pemerintahan.
B.     Pembentukan Diwanul kitabah (semacam Sekretariat Negara) yang dipimpin oleh Raisul Kitabah (Sekretaris Negara). Raisul Kitabah ini dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh beberapa orang sekretaris, yaitu:
-          Katibul Rasail (untuk urusan surat menyurat)
-          Katibul Kharraj (untuk urusan pajak/keuangan)
-          Katibul Jundi (untuk urusan tentara/kemiliteran)
-          Katibul Qudha (untuk urusan kehakiman)
-          Katibul Syurthan (untuk urusan kepolisian).
C.     Pembentukan beberapa departemen sebagai pembantu wazir, antara lain ialah:
-          Diwanul Kharij (Departemen Luar Negeri)
-          Diwanul Ziman (Departemen Pengawasan Urusan Negara)
-          Diwanul Jundi (Departemen Pertahanan dan Keamanana)
-          Diwanul Akarah (Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja)
-          Diwanul Rasail ( Departemen Pos dan Telekomunikasi)
D.    Pengangkatan Amir dan Syeikh Qura
E.     Pembentukan angkatan bersenjata terdiri dari angkatan darat dan laut
F.      Pembentukan baitul mal (kas negara) yang terdiri dari:
-          Diwanul Khazanah (Perbendaharaan Negara)
-          Diwanul Azra’a ( Urusan Hasil Bumi)
-          Diwanul Khazainushilah ( Urusan Perlengkapan Tentara)
G.    Pembentukan Mahkamah Agung yang terdiri atas:
-          Al-Qadha (bertugas mengurus perkara-perkara agama, hakimnya disebut Qadhi)
-          Al-Hisbah (bertugas mengurus masalah-masalah umum baik pidana maupun perdata, hakimnya disebut Al-Mustashib)
-          An-Nazhar fil Mazhalim (bertugas menyelesaikan perkara-perkara banding dari tingkat Al-Qadha dan Al-Hisbah dan hakimnya disebut Shahibul Mazhalim).

Disamping semua itu, banyak usaha perbaikan sistem pemerintahan yang dilakukan para khalifah Abbasiyah  antara lain usaha yang dilakukan khalifah Al-Mansur, seperti pengaturan dan penerbitan pemerintahan, pembinaan keamanan dan stabilitas dalam negeri, pembinaan politik luar negeri untuk kemajuan dan perkembangan dinasti Abbasiyah. Selain itu pula, Harun Al-Rasyid pernah menjalin hubungan diplomasi politik dengan Raja Poppie di Byzantium untuk bekerjasama menghalau kekuatan politik militer tentara Umayyah di Andalusia.

B.     Kemunduran Dinasti Umayyah
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.[8]
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdulah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi'ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali.[9]
Perlawanan orang-orang Syi'ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras dan tersebar luas. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali.. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, yaitu gerakan Abdullah ibn Zubair.
Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.[10]
Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana. [11]
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah diklasifikasi menjadi dua bagian :
1.      Faktor internal ,yaitu berasal dari dalam istana sendiri antara lain :
a.       perselisihan antara keluarga khalifah,
Diantrara para putra mahkota yang pertama telah memegang maka ia berusaha untuk mengasingkan keluarga yang lain da ingin menggantikan dengan anaknya sendiri. sehingga sistim pergantian khalifah dari garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab. Yang mengakibatkan terjadinya persaingan  yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.[12] 

b.      Perilaku khalifah atau gubernur  jauh dari aturan islam
kekayaan Bani Umayyah disalah gunakan oleh khalifah ataupun gubernur untuk hidup berfoya-foya ,bersuka ria dalam kemewahan ,terutama masa khalifah yazid II naik Tahta ia terpikat oleh dua biduanitanya ,Sallamah dan Habadah serta suka meminum minuman keras.[13] ditambah lagi para wazir dan panglima bani Umayyah sudah mulai korup dan mengendalikan Negara karena para khalifah pada saat itu sangat lemah.[14]
2.      Faktor eksternal istana ,adalah yang berasal dari luar istana
a.       Perlawanan dari kaum Khawarij
sejak berdiri dinasti Bani Umayyah para khalifahnya sering menghadapi tantangan dari golongan khawarij. Golongan ini memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah melakukan dosa besar perbedaan sudut pandang pro Ali dan Pro Muaiwiyah ini menjadikan khawarij mengangkat pemeimpin dari kalngan mereka sendiri.[15]
b.      Perlawanna dari kalangan Syi`ah
Pada dasarnya kaum Syi`ah tidak perna mengakui pemerintahan Dinasti bani Umayyah dan tidak perna memaafkan kesalahan mereka  terhadap Ali dan Husain hingga semakin aktid dan mendapat dukungan public.disisi mereka berkumpul orang-orang yang merasa tidak puas ,baik dari sisi politik,ekonomi maupun sosial terhadap pemerintahan Bani Umayyah.[16]
c.       Perlawanan dari golongan Mawali
 Asal mula kaum Mawali yaitu budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan kemudian istilah ini berkembang pada orang islam bukan arab.ketika bani Umayyah berkuasa orang mawali dipandang sebagai masyarakat bawahan sehingga terbukalah jurang dan sekat sosial yang memisahkan ,padahal orang Mawali turut berjuang memebelah islam dari bani Umayyah, mereka adalah kaum infantri yang berjalan kaki yang bertempur dengan kaki telanjang  diatas terik panasnya padang pasir.mereka ahkirnya bergabung dengn gerakan anti pemerintah yakni pihak Bani Abbasiyah dan Syi`ah.[17]
d.      Pertentangan etnis Arab Utara dengan Arab Selatan.
Masa khilafah Bani Umayyah ,pertentangan etnis antara suku arabia utara (baniQaisy) dan arabia Selatan  (bani Qalb) yang sejak zaman sebelum islam makin meruncing.atas asumsi tersebut apabila seorang khalifah berasal atau lebih dekat dengan Arab Selatan, Arab Utara akan iri demikian sebaliknya, perselisihan tersebut  berimplikasi pada kesulitan Bani Umayyah menggalang persatuan.
e.       Perlawanan dari Bani Abbasiyah
Keturunan dari paman Rasulullah Keluarga Abbas,mulai bergerak aktif dan menegaskan mereka untuk menduduki pemerintahan dengan cerdik mereka bergabung dengan pendukung Ali dan menekangkan hak keluarga Hasyim. Dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan menampilkan sebagai pembelah sejati agama islam, para keturunan abbas segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah.[18]

Faktor-faktor tersebut diatas merupakan sebab kemunduran yang memebawa kepada kehancuran Dinasti Bani Umayyah termasuk koalisi akbar ketiga kaum syi`ah, Mawali dan Abbasiyah, menyusun kekuatan dalam melakukan agresi gerakan revolusi pemerintahan dengan menumbang Dinasti Bani Umayyah dan bertujuan menciptakan pemeritahan baru.
Berahkirlah kekusaan Dinasti Bani Umayyah dikota damaskus yang dirintis Muawiyah ibn Sufyan kurang lebih 90 tahun lamanya dan ditutup oleh khilafah ke empat belas Marwan ibn Muhammad.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Bani Abbasiyah didirikan oleh Abu Al-Abbas pada tahun 750-754 M dengan Irak sebagai pusat pemerintahannya.
2.      Konsep khilafah pada Bani Abbasiyah berlanjut ke generasi sesudahnya, dan ini merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun.
3.      Sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah memiliki kantor pengawas (dewan az-zimani) yang pertama kali diperkenalkan oleh Al-Mahdi; dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan at-tawqi) yang menangani surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos. Dewan penyelidik keluhan (dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejenis pengadilan tingkat banding, atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang diputuskan secara keliru pada departemen administratif dan politik. Sistem pemerintahan Bani Abbasiyah adalah monarki (kerajaan).
4.      Kemunduran yang dialami oleh Dinasti Umayyah dikarenakan melemahnya sikap solidaritas internal dinasti  Umayyah sendiri, terjadinya pemberontakan dari dalam akibat ego perebutan politik kekuasaan
5.      Kehancuran yang membawa runtuhnya dinasti  Bani Umayyah di akibatkan oleh faktor internal  istana yang ditandai pembesar-penbesar istana banyak menyimpang dari koridor kepemimpinan yang terlibat dalam ekploitasi fasilitas istana dan yang kedua adalah faktor eksternal dari luar istana diantaranya koalisi besar oleh kaum penentang Bani Umayyah yaitu kaum Syi`ah, Mawali dan Abbasiyah yang mengakibatkan mereka runtuh dan berahkir setelah terbunuhnya Marwam ibn Muhamma
B.     Kritik dan Saran
Dalam penyajian makalah ini, tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Baik dari segi teknis penulisan maupun isi. Oleh karena itu, kami sebagai penulis mengharap ada masukan-masukan, kritik dan sarannya yang bersifat membangun, agar kedepannya penyajian makalah berikutnya menjadi lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Murodi, Islam di kawasan Kebudayaan  Arab, Cet,1; Jakarta :Logos 1999.
A Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: P.T. Jayamurti 1997
Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007
Darsono, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam, Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003.
Harun nasution ,Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid 1, Cet.V; jakrta; UI Pres, 1985.
K. Ali , Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Cet. 3 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
M.Abdul karim ,Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam, cet 1 ;Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Cet. I, Yogyakarta: PT Tiara Wacana yogya, 1990
Nasution Harun, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : UI Press, 1985.
Philip k.Hitti, History of thdi Arabs, Terj. R cecep Lukman Yasin & Dedi  Slamet Riyadi,  Jakarta ; PT serambi Ilmu Semesta, 2008
Sayyid al-Waqil Muhammad, Wajah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998
Stryzewska Bojena Gajane, Tarikh al-Daulat al-Islamiyah, Beirut: al-maktab al-Tijari, Tanpa Tahun
Yatim Badri ,Sejarah peradaban  Islam, Eds. I;Jakarta Raja Grafindo Persada, 2006.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada,  2008.



 


[1] A Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: P.T. Jayamurti 1997), hlm. 44.
[2] Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 144.
[3] Darsono, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam, (Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), hlm.30
[4] Darsono, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam, (Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), hlm.33
[5] Ibid, hlm. 68
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2008),hlm.49
[7] Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Cet. I, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana yogya, 1990), hlm. 126-127.
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. 16 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 45
[9] Sayyid al-Waqil Muhammad, Wajah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm. 47
[10] Badri Yatim, op.cit., hlm. 47
[11] K. Ali , Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), (Cet. 3 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 226
[12] Badri Yatim, Sejarah peradaban  Islam, (Eds. I;Jakarta Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.43.
[13] Philip k.Hitti, History of thdi Arabs, Terj. R cecep Lukman Yasin & Dedi  Slamet Riyadi, ( Jakarta ; PT serambi Ilmu Semesta, 2008 ) , hlm. 315
[14] M.Abdul karim, Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam, ( cet 1;Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007 ) , hlm.131
[15] Harun nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid 1,( Cet.V; jakrta ; UI Pres,1985 ), hlm.64
[16] Philip K. Hitti, op. cit, hlm. 352
[17] Ali Murodi, Islam di kawasan Kebudayaan  Arab, ( Cet,1; Jakarta :Logos 1999 ), hlm.343
[18] Philip k.Hitti, History of thdi Arabs, Terj. R cecep Lukman Yasin & Dedi  Slamet Riyadi, ( Jakarta ; PT serambi Ilmu Semesta ,2008 ) , hlm. 315
DONASI VIA PAYPAL Bantu berikan donasi jika artikelnya dirasa bermanfaat. Donasi akan digunakan untuk memperpanjang domain https://4rrwani.blogspot.com/. Terima kasih.
Newer Posts Newer Posts Older Posts Older Posts

More posts